~•9. Kotak Bekal Pink•~

96.6K 5.8K 96
                                    

Siang ini aku di ruangan berdinding putih, buku bertumpuk-tumpuk, laptop yang menyala dan laki-laki yang sedang duduk dihadapanku.

"Mana tugasnya, Pak?" tanyaku to the point karna Pak Rafa tak kunjung bicara.

Buku matematika baru dan pulpen sudah ada di tanganku. Sengaja aku bawa karna tadi Pak Rafa bilangnya akan memberikanku soal.

"Pak buruan, jangan buang-buang waktu istirahat saya, saya mau makan," ucapku. Karna yang di ajak bicara sedari tadi hanya diam menatap layar laptopnya.

"Buka bukunya!" ucapnya.

Lalu aku membuka buku matematikaku.

"Apa kamu tidak pernah menulis pelajaran matematika?"

What!? Kenapa dia bisa tau kalau aku tidak pernah menulis di pelajaran matematika.

Pak Rafa sepertinya lebih cocok jadi peramal ketimbang menjadi guru.

Aku menggeleng pelan.

"Kenapa?" tanyanya mulai melembut.

"Aku ga suka matematika," Jawabku jujur.

"Bagaimana kamu mau menghitung pemasukan dan pengeluaran uang di rumah kalau kamu saja tidak bisa matematika."

Oh ceritanya ini pembalasan di kelas.

Apa-apaan ini? Katanya ingin memberi soal, tapi malah menggodaku.

"Tidak suka matematika, bukan berati tidak bisa menghitung uang kan, pak?"

Aku menjawab ucapannya dengan sinis. Padahal tadi jawabannya sudah membuat hatiku bergemuruh. Tapi, ketika ingat bentakannya di kelas aku lebih memilih bersikap judes dan terkesan biasa saja terhadapnya. Biarkan saja, biar tahu rasa karna telah berani membentak seorang Sena.

"Bukan maksudku ingin memarahi mu," ucapnya lembut.

Tuh kan. Kenapa dia bisa tau apa yang sedang aku bicarakan dalam hati. Pak Rafa ini memang sangat cocok menjadi peramal.

"Meskipun kamu calon istri saya, saya harus tetap bersikap profesional. Apa lagi profesi saya menjadi guru."

"Iya saya mengerti," ucapku masa bodo.

"Nih makan siang, katanya laper," ucapnya seraya mengeluarkan kotak makan berwarna pink dari tasnya.

Wow! Guru yang terlihat keren seprtinya, membawa bekal? Apa lagi kotak makannya berwarna pink. Ingin sekali aku tertawa.

Aku menahan agar tidak tertawa.

"Kenapa?"
"Ngetawain saya?" ucapnya.

"Ngga si lucu aja. Guru segalak bapak ternyata bawa bekal haha," ucapku yang akhirnya tertawa karna tak tahan.

"Emang ada masalah?" ucapnya kembali datar.

Baru saja tadi melembut sekarang sudah mendingin saja.

Iya si suhu di ruangan ini dingin. tapi kan, sikap bapak ga usah ikut-ikutan dingin juga dong.

"E-engga" ucapku seraya menghentikan tawa.

"Bunda yang suruh ngasih kotak makan ini ke kamu," ucapnya seraya mendorong kotak makan itu kearahku.

"Saya bingung gimana caranya biar kotak makan ini sampai kekamu. Makanya, kamu saya panggil kekantor dengan alasan pelajaran. Kalau nanti saya kasih langsung ke kamu bisa-bisa saya dan kamu tadi trending topik di sekolah ini," ucapnya. Pak Rafa tersenyum tipis. Ah.. aku seperti kehabisan oksigen melihat senyum itu.

Tidak menyangka orang yang kelihatannya irit bicara, kini banyak bicara di hadapanku.

"Sampaikan makasih ke Bunda, sudah repot-repot membuatkan bekal untuk ku."

"Sampaikan saja sendiri," ucapnya santai.

Loh apa maksudnya? Aku menyampaikannya langsung? Berati aku harus kerumahnya?

"Lain kali tidak usah repot-repot seperti ini. Saya merasa tidak enak," ucapku seraya menggaruk tekuk yang tidak gatal.

"Tidak perlu merasa tidak enak, kan sebentar lagi akan menjadi calon mertua," ucapnya santai tapi membuatku tak karuan.

"Is bapak," ucapku melempar tatapan sinis.

"Cie merah," ucapnya menggodaku.

Kenapa harus blushing di depannya lagi. Agrhhh!

Bagaimana bisa di menggodaku di sekolah seperti ini.

"Kamu pulang naik apa?" tanyanya.

"Naik angkot."
"Soalnya ban motornya bocor."

"Pulang bareng saya aja," ucapnya.

Bersambung....

Siti Fatimah

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang