Happy reading :)
Lidya Prescott berlutut di sisi tempat tidur kakaknya, mengigit bibir dan menarik nafasnya sesekali. Ia sangat benci memikirkan hal buruk, tapi pada kenyataannya ia memang harus memikirkan bagian terburuk dari semua ini. Lydia menggigit bibirnya lebih keras dan menangis dalam diam.
Tidak lama kemudian pria berpakaian hitam masuk, seketika itu Lidya langsung menolehkan wajahnya dan menatap pria itu dengan pandangan benci yang menusuk. "Get out," bisik Lidya pelan.
"Anda seharusnya tahu kalau ini adalah akhir dari perjuangan anda, nona Lidya. Jangan pernah berpikir kalau anda bisa pergi dari-"
"Aku bilang KELUAR!"
Lidya mengambil vas yang ada di nakas dan melemparnya kearah pria itu, vas tersebut pecah namun pria berjas itu tidak bergeming. Ia menarik nafas dan berteriak sambil memegang kepalanya dengan frustasi. "Pembunuh! Kalian semua pembunuh!!"
"Seharusnya anda tahu kalau dari awal tidak akan pernah bisa menang dalam permainan berbahaya ini. Sebaiknya anda berhenti melawan dan lakukan apa yang harus dilakukan olehmu."
"Aku tidak akan pernah melakukannya."
"Dan anda akan membiarkan kakak anda mati karena keputusan anda?"
Pertanyaan itu menyentak Lidya sehingga air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya, seluruh tubuhnya menggigil hanya memikirkan kemungkinan kehilangan kakaknya-satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Pria itu berlutut di hadapannya dan berkata, "nyawanya tergantung dalam keputusan yang anda ambil, dan anda tahu kalau keputusan yang anda pikir benar, bisa saja menjadi keputusan terburuk yang anda ambil."
Kemudian pria itu meninggalkan kamar rawat, Lidya berdiri dan menghadap kearah kakaknya yang masih koma. Ia menangis dan memeluk tubuh kakaknya, "kau tidak akan meninggalkanku, Harletta. Tidak, kau tidak boleh meninggalkanku, tidak setelah apa yang terjadi padaku! Tidak setelah apa yang kita putuskan bersama!"
"Ehm, permisi miss Prescott."
Lydia melepaskan pelukannya dan menghadap kearah dokter yang berpakaian putih, "hasil rontgen sudah keluar, kita bicara di luar?"
"Keluarkan tanda pengenal anda, aku ingin melihat apakah anda benar-benar dokter yang bertanggung jawab atas kakakku."
Dokter itu tidak merasa tersinggung dan memperlihatkan kartu identitasnya sebagai dokter di rumah sakit tersebut, dan Lidya menangis sambil meminta maaf, "I'm so sorry, aku hanya berpikir kalau-"
"Setelah apa yang anda lalui, sudah sepantasnya kalau anda bertindak seperti ini. Saya bisa mengerti mengapa anda melakukan semua ini." Dokter tersebut menepuk bahu Lidya dan tersenyum maklum, "Ada yang lebih penting. Anda ingin berbicara di sini atau di ruangan saya?"
"Di sini saja." Lidya menatap kearah Harletta yang masih menutup matanya, "Aku tidak ingin meninggalkan kakakku."
Dokter tersebut mengeluarkan dokumen dari map dan memperlihatkannya kepada Lidya, ia menatap dokumen itu dengan nafas tertahan. Lidya mendongakkan wajahnya seolah bertanya dan dokter tersebut mengangguk, "Sama seperti yang anda takutkan, jantung Harletta terpasang pacemaker yang telah di susupi bom kecil yang bisa meledak sewaktu saat. Dan kami tidak bisa melepaskan begitu saja, maafkan kami."
"Tapi anda adalah seorang dokter!"
"Dokter bukan Tuhan, kami hanya membantu menyelamatkan, dan dalam kasus ini anda sendiri pasti tahu kalau kami tidak bisa menyelamatkan kakak anda."
Lidya menggeleng lemah, ia menangis dan terisak. Bagaimana mungkin ia bisa kehilangan Harletta setelah semua yang terjadi, bagaimana mungkin hal ini terjadi padanya? "Tolong lakukan sesuatu. Anda pasti bisa melakukan sesuatu untuk membantu kakakku. Masalah biaya, aku akan mengusahakan sesuatu!"
"Ini bukan masalah biaya. Anda tahu kalau bukan itu masalahnya," jelas dokter itu sambil menghela nafas, "Bom kecil yang terpasang di jantung Harletta, hanya bisa dilepas dengan kode khusus oleh pemasang. Dan tanpa itu, anda tidak bisa berbuat apapun."
"Tidak mungkin..."
Dengan lemas tubuh Lidya merosot kelantai, sementara tubuhnya bergetar karena takut, ia membiarkan wajahnya terisak hingga mengeluarkan suara tercekik. "Tolong... lakukan apapun untuk kakakku..." Lidya berbisik dengan sangat pelan, "Aku akan melakukan apapun untuknya, aku mohon..."
Dokter menatap Lidya dengan simpati dan berlutut dihadapannya,"Hanya ada satu orang yang bisa melakukannya. Dan untuk itu anda harus pergi ke Perancis dimana orang itu berada."
"Siapa?"
"Ewan Wellington, pebisnis sukses yang merajai seluruh dunia gelap di sana, billioner yang mampu menjawab masalah anda sekarang ini." Dokter mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jas nya dan memberikannya kepada Lidya, "Anda bisa menghubungi salah satu rekan kerjanya, Maximillian Russell. Sebelum mendatangi Mr. Wellington, lebih baik anda menemui Mr. Russell karena hanya pria itu yang bisa menghubungi Mr. Wellington."
"Mr. Wellington?" bisik Lidya pelan.
"Hanya dia yang bisa menolong anda, kalau anda tidak bisa mendapatkan kerja sama dari Mr. Wellington..." Dokter itu menggeleng pelan,"... maka tidak ada lagi yang bisa menolong kakak anda dari masalah ini."
"Dan bagaimana dia bisa menolongku?!"
"Mr. Wellington memiliki pengaruh di teknologi, dan dia seharusnya tahu apa yang harus anda lakukan, tetapi untuk bertemu dengannya tidak semudah yang anda pikirkan. Mr. Wellington tidak pernah menetap, dia selalu berkeliling dunia dan tidak ada yang bisa menemuinya. Satu-satunya orang yang bisa membantu anda adalah Maximillian Russell."
"Kalau tidak ada yang bisa menghubunginya, bagaimana anda bisa berpikir kalau Mr. Russell bisa membantuku?!"
"Anda bisa mempertaruhkan segalanya pada pria itu. Masalah apakah Mr. Russel mau membantu anda, saya tidak bisa menjaminnya."
Lidya memegang kartu nama Maximillian Russell dengan tangan gemetar, sebelum dokter keluar dari ruangan ia berkata dengan lirih, "Good luck Ms. Prescott. Saya berharap Tuhan membantu anda."
Setelah terdengar suara pintu tertutup, ia menelan saliva-nya dengan sulit. Bagaimana bisa orang biasa sepertinya bertemu dengan salah satu Billionaire terkaya di Amerika hanya untuk masalahnya, dan bagaimana bisa ia membuat janji dengan Maximillian Russell? Persentase yang dimilikinya hanyalah satu banding seribu persen. Dan kenyataan itu membuat Lidya menarik nafas dalam-dalam hingga dadanya terasa sakit.
Ia menoleh kearah Harletta dengan air mata yang masih mengalir di wajahnya. "Aku harus melakukannya, bukan begitu Harletta? Apa kau ingin aku melakukan ini?"
Harletta tidak menjawab dan yang bisa didengar oleh Lidya hanyalah suara monitor dan alat-alat penunjang kehidupan Harletta. Ia berlutut dan menggenggam tangan Harletta dengan sedikit lebih erat, "Aku merindukan Ma, dia pasti tahu apa yang harus kita lakukan. Aku..."
Aku sendirian...
"Jangan tinggalkan aku, Harletta. Aku hanya memilikimu dan aku tidak memiliki siapapun kecuali kau." Lidya mengecup punggung tangan Maria dan berbisik, "Aku tidak bisa kehilanganmu, Harletta. Tidak setelah aku kehilangan segalanya..."
Ya, Lidya tidak bisa kehilangan satu-satunya sanak keluarganya. Dua belas tahun yang lalu ia telah kehilangan segalanya, keluarganya, masa depannya dan hatinya. Ibunya meninggal karena penyakit yang tidak pernah diberitahukannya, ayah tirinya menghilang dan semua kejadian demi kejadian aneh terjadi. Ia bahkan sudah mematahkan hatinya sendiri, ia sudah membuang hatinya menjadi serpihan kecil hanya untuk menyelamatkan mukanya. Jadi kali ini, ia akan mempertahankan apa yang bisa ia pertahankan. Satu-satunya Kakak tiri yang dimilikinya...
TBC | 01 may 2017
Repost | 28 February 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...