Zia memasuki pekarangan hotel Max, mengetuk pintu salah satu kamar dan menunggu orang tersebut membukanya.
Ketika ia melihat Ewan mengenakan jubah mandi dihadapannya, Zia langsung memeluk Ewan begitu saja. Seolah-olah pelukan itu untuk menenangkan dirinya sendiri. "Hei, aku tidak tahu kalau kau begitu rindu denganku, wifey. Untung saja Maxie tidak ada disini."
Zia tidak menjawab. Secara otomatis, Ewan mengelus puncak kepala Zia dengan lembut. "Ada apa? Mau bicara?" tanya Ewan halus. Ia membawa Zia masuk ke dalam kamar agar tidak menimbulkan salah paham pada tetangga yang lain.
Di dalam kamar, Zia termenung, ia mengingat kalimat yang diucapkan oleh Lidya kepadanya dan hal itu malah membuatnya begitu sedih. Ewan adalah sahabatnya, tanpa sadar ia telah menganggap Ewan seperti itu. Mungkin karena bantuan Ewan-lah ia bisa bersama dengan suaminya, mungkin juga karena Ewan-lah Max bisa menerima Aria, mungkin tidak dan mungkin iya. Tapi apapun yang terjadi, Ewan telah banyak membantunya selama ini
Dan ia tidak bisa membantunya... tidak akan pernah bisa...
"Kalau..." Zia mulai membuka mulutnya, kali ini ia menatap Ewan yang sudah membawakan air hangat kepadanya, "...ternyata selama ini ia mencintaimu, apa yang akan kau lakukan?"
Ewan tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Zia, ia tidak ingin membahasnya, namun malam ini entah kenapa Ewan tidak merasa keberatan memberikan jawaban kepada Zia. Ewan duduk disamping Zia, menangkupkan tangan besarnya pada telapak tangan ramping wanita itu. Lalu Ewan berkata dengan pelan, "Cinta hanyalah sebuah kata, Zia, ketika kau mencintai seseorang, kau membutuhkan ucapan itu untuk mengekspresikan perasaanmu, untuk memperlihatkan atau memberitahu kepada partner-mu itu mengenai apa yang sedang kau rasakan."
"Bagaimana kalau perasaannya tidak pernah berubah Ewan?" Zia mengulangi ucapannya sekali lagi karena ia merasa Ewan sengaja memutar-mutar jawaban.
Tanpa peduli dengan apa yang dipertanyakan oleh Zia, Ewan melanjutkan ucapannya, "Ucapan itu memang tidak penting bagi segelintir orang, tapi buatku hal itu sangat berarti, Zia." Kali ini Ewan menatap Zia dengan mata hijau yang tegas, "Ketika dia mengatakan tidak mencintaiku, aku akan menganggap dia telah membuangku, dia telah menghapus keberadaanku dari setiap detik yang dilewatinya."
"Ewan..."
"Karena itu aku tidak akan pernah menjawab pertanyaanmu, Zia, because the fact is she not love me enough to hold me, dia tidak cukup mencintaiku untuk percaya bahwa aku akan berada disisinya, dia tidak cukup mencintaiku untuk membiarkanku menjadi satu-satunya pria yang menemaninya tersenyum, beraktivitas dan bermimpi..."
"Dia melakukan hal itu karena-"
"I don't care, Zia dan aku tidak mau tahu apa alasan yang dikeluarkannya." Ewan menghentikan ucapan Zia dengan cepat lalu kembali menatap wanita itu, "Apa yang tidak bisa kuterima adalah kenyataan bahwa dia berbohong. Apa yang diucapkannya adalah kebohongan."
Lalu Zia menyadari kalau Ewan mengetahui segala hal yang baru saja diketahui oleh dirinya. Zia menatap Ewan tanpa terkejut ataupun menghakimi, namun ia bertanya dengan suara pelan. "Kalau kau sudah tahu bahwa semuanya adalah kebohongan, kenapa kau melanjutkan kebohongan ini?"
"Apa yang diinginkannya adalah rasa benci dariku, Zia."
"..."
"Dan apa yang kuinginkan adalah kejujuran, jadi aku mengikutinya. Rasa sakit karena kehilangan ataupun rasa sakit karena kejujuran, aku masih belum bisa melihat yang mana yang lebih menyakitkan." Ewan berdiri dan membalikkan tubuhnya, "Aku sudah mengijinkan dia sekali dengan merendahkan harga diriku Zia. Aku bertanya kepadanya, apakah dia membutuhkanku. Sekali itu aku merendahkan harga diriku hingga berada diatas tanah."
Ewan membalikkan tubuhnya kembali menghadap kepada Zia dan berkata, "Dan dia membuangnya, sekali lagi dengan kebohongan yang dipertahankannya. Bagiku, sekali saja sudah cukup untuk melakukan kebodohan Zia, tidak untuk yang kedua kalinya."
"Dan bagaimana kalau dia masih mencintaimu? Apakah aku bisa mendapatkan jawaban darimu?"
"Bagaimana kalau 'jika dia masih' berubah menjadi 'tidak pernah'? Apakah kau pernah memikirkannya?" tanya Ewan kembali kepada Zia."Tidak, aku tidak lagi menginginkannya. Dia menginginkan aku membencinya, jadi aku membencinya. Sudah kubilang, kebodohan hanya dilakukan sekali bukan? Karena itu, inilah kebodohanku..."
Mata hijau Ewan menatap sendu kearah Zia dan sekali lagi ia berkata dengan tegas sementara kedua tangan di letakkan dibelakang punggungnya, "Kebodohanku adalah mengikutinya. Dia menginginkan aku membencinya, biarlah aku tetap membencinya. Dan hanya ini saja yang akan kulakukan, kedepannya... dia bukanlah siapa-siapa bagiku, Zia. Dan aku akan terus mengucapkan hal itu kepada diriku disetiap menit yang kumiliki, Lidya Prescott hanyalah masa lalu dan kebodohan yang tidak boleh terulang kembali."
'Dee, apakah kau pernah membutuhkanku dalam hidupmu?'
'Tidak, Marshall. Aku tidak pernah membutuhkanmu. Karena bagiku, kau hanyalah pion yang kugunakan untuk ayahku. Hanya itu yang ada didalam kepalaku.'
TBC | 03 July 2017
Repost | 13 Maret 2017
Double repost nih 😏
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...