"Everything will be okay. Yang perlu kau lakukan hanyalah diam menunggu saja," ucap Ewan berulang kali di telinga Lidya sambil menepuk pundak wanita itu dengan lembut. "Jangan menangis lagi, Dee. It hurts me so badly..."
"Dia menyakiti Harletta, dan bahkan dia menyakiti cucunya sendiri." Lidya mengangkat wajahnya dan kembali berkata, "Dia menyakiti Lucas, Marshall. Our Lucas..."
Lidya tidak tahu bahwa ternyata selama ini ayahnya telah bertindak begitu jauh, lebih dari apa yang pernah dibayangkannya. Ayahnya bahkan bisa menggunakan racun yang tidak terpikirkan olehnya. Tapi masalahnya Lidya tidak tahu apa alasannya dan mengapa? Karena kalau alasannya hanyalah perusahaan Wellington, ayahnya tidak perlu menggunakan cara sekotor itu hanya untuk mendapatkan perusahaan itu.
Semua ini tidak masuk akal baginya dan Lidya tidak mengerti apa dalang dari masalah ini sebenarnya. Ia tahu bahwa dengan menangis tidak akan menyelesaikan masalah, tapi masalahnya dalam lima tahun terakhir ia telah berusaha sekuatnya untuk tidak menangis. Dan sekarang ia merasa kekuatannya telah habis.
"Dia tidak akan melakukannya lagi, Dee. Aku tidak akan membiarkan dia—"
"Dia akan terus melakukannya lagi. Dia... akan terus melakukannya," bisik Lidya pelan dengan perasaan terluka. Lidya terus menangis dan ia tidak tahu bagaimana menghentikan air matanya itu."Bagaimana bisa dia berlaku begitu jahat kepadaku..."
Ewan kembali memeluk Lidya dan mengecup daun telinganya sayang. "Kita akan membuat Lucas lagi, cepat atau lambat kita akan mendapatkan Lucas lagi. Aku janji..."
Walaupun begitu, Ewan tahu bahwa segalanya tidak semudah yang dipikirkannya. Luka yang dirasakan oleh wanita itu tidak sekecil luka yang didapatnya. Tapi Ewan telah memutuskan akan menghabiskan waktunya hanya untuk menenangkan wanita itu. Ia tetap memeluk Lidya hingga wanita itu jatuh tertidur dipelukannya.
Dengan hati-hati ia membopong Lidya dari lorong hotel menuju salah satu kamar yang telah disediakan oleh Max di lantai teratas.
⃰
Setelah meletakkan Lidya diatas kasur, Ewan menarik selimut hingga menutupi leher wanita itu. Ia mengecup pelipis wanita itu sebelum akhirnya berjalan duduk di sebelah Lidya sambil memegang tangannya. Dengan suara pelan Ewan berkata, "Dia akan mendapatkan ganjaran yang pantas, tidak peduli kau suka atau tidak Agapi Mou."
Tepat di saat itu, ponselnya berdering. Ewan langsung mengangkatnya dan menyadari bahwa Max-lah yang menghubunginya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Max tanpa basa-basi
"Tidak," jawab Ewan lelah.
"Butuh bantuan?"
"Dia menangis lagi..." ucap Ewan pelan, matanya menatap wajah Lidya yang terlelap. Ia menghela nafas panjang dan mengulangi ucapannya sekali lagi. "Dia menangis lagi, Max. Dan aku tidak bisa melakukan apapun. Bodoh bukan?"
Max tidak menjawab.
"Aku ingin membunuh Jake, kau tidak tahu seberapa besar pria itu telah menyakiti kami." Ewan menarik nafas kencang sementara jemarinya terkepal erat. "Pria tua itu...membunuh puteraku. Satu-satunya kesempatanku untuk bahagia. Pria itu..."
"Apa kau sudah mendapatkan laporan dari staff-mu?"
"Apakah masih perlu melihat laporan bodoh itu?" Tanya Ewan tersenyum sinis. "Laporan itu tidak bisa membuat puteraku kembali, Max. Laporan sialan itu tidak bisa membuatku—"
"Tapi laporan bodoh itu bisa membuatmu tahu bahwa kau sudah selangkah didepannya." Kali ini Max berusaha menegaskan setiap ucapannya dan membuat Ewan terdiam. "Kalau kau tidak menginginkan laporan itu, biar kukatakan padamu. Perusahaan Jake telah berada di genggaman Elizabeth, dan Samuel yang akan mewarisinya. Kedua—"

KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...