Jangan menangis.
Jangan menangis..
Jangan menangis...
Lidya terus mengucapkan kalimat itu di dalam hatinya, jangan menangis. Karena Lidya juga tahu, tangisan tidak membawanya kemanapun. Ia sudah berhasil, bahkan ketika Ewan berkata,"Jangan menganggap dirimu lebih tinggi dari wanita yang pernah kutiduri, Ms. Prescott. Kau sama tidak berharganya dengan mereka."
Dan bahkan, ketika Ewan menghilang dari balkon. Lidya berhasil untuk tidak gemetar, berhasil untuk tidak memohon kepada pria itu untuk menghentikan ucapan yang menyakitkan itu. Karena pada dasarnya, Lidya-lah yang telah menghancurkan pria itu...
Marshall-nya yang manis...
Marshall-nya yang begitu romantis...
Dan Marshall-nya yang takut kehilangannya...
Sejenak ia berharap bisa kembali ke rumah sakit tanpa harus melewati kawanan billionare yang masih berada di ruang tengah. Ia berharap-bagaimanapun juga Lidya benar-benar berharap bahwa balkon ini memiliki jalan pintas untuk turun ke bawah, lalu ia akan lari kerumah sakit dimana Harletta berada.
Namun kakinya tidak bisa bergerak. Lidya tidak bisa merapatkan matanya.
Perlahan tapi pasti, telinganya mendengar suara langkah kaki tapi Lidya tidak bisa mengangkat kepalanya. Akhirnya ia melihat dua pasang kaki berada di depannya, sepasang kaki pria dan wanita. Jangan lagi... Untuk sekarang, Lidya masih membutuhkan beberapa menit untuk tahan menghadapi cacian dan juga ucapan kasar lainnya.
Ia membutuhkan waktu, untuk bersikap bahwa perlakuan Marshall tidak menyakitinya...
"Kau berbohong ketika mengatakan kau tidak menyesal, iya kan?" suara Maximillian Russell menggema di telinganya namun Lidya tidak bisa mengatakan apapun. Lalu ia mendengar hembusan nafas di atas kepalanya, "Berbohong kepada Ewan, tidak menjadikanmu berharga Ms. Prescott. Itu menjadikanmu wanita yang tidak berharga."
"Max, please. Kita hentikan saja ya? Aku tidak menginginkan kemarahan Ewan lagi..." Suara Zia yang mengalun lembut di telinganya seolah menyadarkannya bahwa sepasang suami istri ini tengah mengasihaninya.
Lalu Lidya merasakan kepalanya di usap dengan lembut, bagian kepalanya yang basah di lap dengan sebuah kain yang lembut di kepalanya.
Waktu semenit yang dibutuhkannya telah habis, dengan cepat Lidya menepis tangan siapapun yang berada di kepalanya. Ia tidak membutuhkan bantuan. Mata Lidya bertatapan dengan mata Zia, wanita itu kemudian berkata, "Ewan tidak menyukai kebohongan."
Aku tahu.
"Kalau begitu seharusnya dia senang kalau aku tidak berbohong padanya, Mrs. Russell." Lidya mundur selangkah dan menegakkan punggungnya. Kedua tangannya masih merapat di balik tubuhnya dan ia berusaha memperlihatkan senyum dihadapan Zia. "Lagipula harusnya Mr. Wellington senang karena dengan perlakuanku, dia tahu kalau aku bukan siapa-siapa dan aku hanyalah wanita yang sama..." Lidya menarik nafas pendek ketika melanjutkan ucapannya,"...wanita yang sama dengan yang pernah dicicipinya berkali-kali..."
"Jadi kau tidak berbohong?" bisik Zia pelan.
"Tidak," jawab Lidya cepat.
Kemudian Zia mengulurkan tangan dan mengusap pipi Lidya dengan pelan. Wanita itu menggeleng, sedangkan Max menghembuskan nafas panjang. "Kalau begitu Ms. Prescott. Kalau kau tidak berbohong, kenapa kau menangis?"
"Aku tidak-"
"Istriku memiliki firasat yang sangat tepat dan aku mempercayainya ketika dia mengatakan kau memiliki alasan, bahwa kau juga terluka." Max mengusap puncak kepala Zia dengan lembut,"Aku mempercayai setiap kata yang diucapkannya. Dan yang ingin kuketahui adalah... untuk apa kau berbohong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...