Lidya turun dari tangga pesawat, menatap kesekelilingnya. Anginnya terasa menyegarkan, namun hatinya tidak merasa lega. Sebaliknya, ia malah ingin menangis. Kedua tangannya terkepal, sementara ia terus menahan air matanya untuk tidak jatuh. Dan tatapannnya terarah pada sebuah helicopter yang berada di ujung jalan.
Seorang pria turun dari helicopter tersebut. Rambut pirang kehitaman itu bergerak searah dengan angin, walaupun kaca mata hitam pria itu menutupi bola mata indah yang begitu dikenalnya, tetap saja Lidya masih mengenalnya. Tangannya terkepal begitu erat disamping tubuhnya sementara matanya tetap terarah pada pria yang turun dari helicopter tersebut dengan beberapa orang dibelakangnya.
Marshall...
Ketika ia mulai melangkahkan kakinya, ia melihat Marshall membuka kacamatanya dan berjalan kearah sebuah mobil hitam yang berada tidak jauh dari tempat itu. Sebelum Marshall masuk ke dalam mobil, mata mereka saling bertatapan. Tapi itu bukan bagian terburuknya, bagi Lidya hal terburuk yang dialaminya adalah yang sekarang dilakukan oleh pria itu.
Karena baru kali ini Marshall membuang tatapannya dan masuk kedalam mobil seolah tidak melihatnya. Baru kali ini pria itu bersikap seolah tidak peduli kepadanya, dan itu adalah alasan yang paling kuat bagi Lidya untuk menitikkan air mata. Karena ini adalah bukti bahwa pria itu tidak lagi menginginkannya, tidak setelah apa yang dilakukannya.
"Marsh—" Lidya ingin memanggil pria yang telah masuk ke dalam mobil hitam itu, namun lidahnya terasa kelu. Lalu mendadak seseorang menepuk pundaknya, tanpa berkata apapun, Lidya membalikkan tubuhnya dan melihat Eugene berada di belakangnya.
Eugene menatapnya dengan bingung. "Ada apa?" Tanya Eugene. Dengan cepat matanya terarah ke mobil yang melesat dengan cepat, dan ia mulai mengerti apa yang terjadi. Sambil menghela nafas, Eugene mengulurkan tangannya, ia mengelus puncak kepala Lidya lembut. "Dia tidak marah padamu."
"He's mad..." Tanpa sadar Lidya mengatakan hal itu sambil berbisik. Dengan cepat ia menghapus air matanya. "Aku tahu...dia marah kepadaku, bahkan ketika ia tidak mengatakannya. Aku tetap tahu..."
"Dia akan kembali ketika semuanya sudah selesai. Aku bisa memastikan hal itu kepadamu."
Lidya menggeleng.
"He will not..." bisik Lidya pelan. Ia menggigit bibirnya dalam-dalam seolah tidak ingin mengatakan hal yang akan diucapkannya. Ia menutup matanya, menahan isak tangisnya lalu dengan pelan ia berkata, "Kali ini... dia tidak akan kembali..."
Eugene mengelus puncak kepala Lidya lembut. "Ada kalanya, bukan kekeraskepalaan ataupun logika yang bisa kau terapkan dalam sebuah hubungan." Eugene menghela nafas, menarik nafasnya panjang seolah mengisi udara kedalam paru-parunya dan melanjutkan ucapannya. "Terkadang, perbuatan dan kejujuranmu-lah yang terpenting."
"Di dalam sebuah hubungan terkadang memang memerlukan hal yang irrasional seperti itu. Tidak memerlukan sebuah ucapan, logika ataupun alasan, karena terkadang yang diperlukan adalah membuatmu nyaman dan bagaimana kau mempertahankannya."
"Aku berusaha..."
"Kau tidak cukup berusaha kalau begitu." Eugene menepuk puncak kepala Lidya lembut, lalu melingkarkan tangannya di sekeliling pundak Lidya. "Percayalah padanya. Walaupun kau berada dalam posisi yang sulit untuk mempercayainya, try to believe him."
"Aku..." Lidya meneteskan air matanya diam-diam. "...believe him. Always..."
"Good. Kalau begitu kita harus segera ke rumah sakit untuk menemui Harletta," ucap Eugene sambil tertsenyum kecil dan mendadak Lidya merasakan remasan di pundaknya. Ia mendongak dan melihat raut wajah Eugene seolah berubah namun pria itu langsung merubahnya lagi menjadi datar. "Supir kita sudah menunggu. Let's go..."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...