Beberapa hari ini adalah hari yang sangat bahagia bagi Lidya. Kebahagiaan kecil yang selalu dimimpikannya. Sering kali Lidya tertidur di sofa rumah sakit, dengan air mata mengalir dari pelupuknya hanya karena ia begitu merindukan hal kecil. Makan burger, tidur di atas rerumputan, hanya saling berguling atas pasir tanpa memikirkan apapun. Hanya mereka dan juga deburan ombak serta aroma Marshall...
Begitu banyak yang harus diceritakan Lidya kepada Marshall, tapi ia tidak bisa melakukannya. Bukan karena ia tidak mempercayai pria itu, tidak... karena pada dasarnya, Lidya mempercayai Marshall lebih dari siapapun, bahkan lebih dari ayahnya. Arti keberadaan Marshall, lebih dari apapun.
Tapi ia tidak bisa melakukannya. Karena Marshall akan terluka...
Setelah pergumulan malam mereka, Marshall tertidur. Tangan pria itu memeluk pinggang Lidya dengan gerakan posesif, sementara itu jemari Lidya sibuk mengelus pelipis Marshall dengan pikiran masih melayang-layang.
Marshall memang membicarakan mengenai hukuman, tapi pria itu tetap saja memperlakukannya dengan lembut. Mata Lidya melembut ketika mengelus pelipis Marshall, pria itu terlihat lelap dan nyaman dalam tidurnya. Ia memang lelah dan mengantuk, hanya saja tadi ia bermimpi buruk sehingga mmemutuskan untuk bangun. Beberapa hari yang lalu, Marshall pernah mengatakan hal yang sangat manis kepadanya. 'Bangunkan aku kalau kau bermimpi buruk.' Ucapan itu, walaupun hanya omong kosong bagi pria itu, tetapi bagi Lidya, itu adalah ucapan terbaik setelah lima tahun ini yang pernah diberikan oleh pria itu kepadanya. That's enough.
Ponsel Lidya yang berada di nakas mendadak bergetar. Ia membalikkan tubuh, mengangkat ponsel itu dan melihat isi pesan yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenalnya. Dan Lidya merasa seolah-olah pesan itu membuatnya sadar dengan apa yang sebenarnya dihadapinya. Kenyataan yang harus dihadapinya...
"Angel, I'm coming after you." - 276xxx
Dengan cepat Lidya menghapus pesan itu, menutup ponsel dan mengembalikannya keatas nakas. Lidya tahu apa yang diinginkan ayahnya, apa yang diinginkan ayahnya hanyalah perusahaan Wellington. "Marshall... Do you know the scariest part of my life?"
Tidak ada jawaban yang didapat oleh Lidya. Apa yang didapatnya hanyalah hembusan nafas tenang. Jemarinya lagi-lagi mengelus pelipis Marshall, matanya memandang wajah Marshall seolah ingin mereguk semua yang bisa diambilnya. "Aku tidak ingin melihatmu menangis. Aku tidak bisa... melihat ayahku menyakitimu. Tidak setelah semua yang kau alami..."
Air mata Lidya mengalir.
"Semua yang kau alami... adalah karena dia." Lidya menarik nafas kencang dan menahan isak tangis. Perlahan Lidya menunduk, mengecup pelipis Marshall, membiarkan air matanya menetes di pelipis pria itu. Ketika ia menjauhkan bibirnya, Lidya berkata,"Aku mencintaimu..."
Untuk sekarang Lidya ingin menghirup angin segar. Ia membalikkan tubuh dan hendak turun dari ranjang, namun sebuah tangan menahannya sehingga dengan cepat ia langsung membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini, mata hijau Marshall tidak tertutup, mata itu terbuka dan menatapnya dengan tatapan yang tidak dimengertinya.
Lidya mengira kalau pria itu tidur dengan lelap, tapi tidak. Dari awal Ewan tidak tertidur sama sekali. Ewan hanya terdiam dan pura-pura tertidur karena hanya itu satu-satunya cara agar wanita itu tidak memaksakan dirinya untuk tidur nyenyak padahal tidak. Dan Ewan sudah lelah berpura-pura bahwa ia akan melupakan masa lalu sementara dihatinya masih tersimpan ratusan pertanyaan. Kali ini, ia akan mendapatkan jawabannya langsung dari bibir Lidya.
"If you loves me, you will share everything with me," ucap Ewan pelan.
Tubuh Lidya mematung, seolah-olah ia tidak bisa membalas ucapan Marshall. Sementara itu tubuh Marshall berubah posisi menjadi tegak, jemari panjang pria itu mengelus pipinya dengan lembut. "Sampai kapan kau akan terus melarikan dirimu dariku, Agapi Mou?"

KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...