Satu jam kemudian, Terry keluar dari ruang operasi. Ewan langsung bangkit bersamaan dengan Lidya. Yang pertama kali membuka pembicaraan adalah Lidya. Ia mendekati Terry, mencengkram lengan pria itu dan bertanya, "Bagaimana dengan kakakku?"
Terry tidak menjawab.
"Apakah... sesuatu terjadi padanya?" Tanya Lidya pelan. Ketika Terry tidak menjawab pertanyaannya, ia merasa ada sesuatu buruk yang telah terjadi dan air mata Lidya tumpah. Ia kembali memeluk Ewan, menyandarkan kepalanya pada dada bidang pria itu seraya berharap bahwa pikiran buruknya tidak benar-benar terjadi.
"Ewan, bisa kita bicara sebentar?" Tanya Terry.
Ewan mengangkat alisnya dan menyadari bahwa Terry tidak pernah bersikap sekaku itu dihadapannya, kecuali kalau sesuatu yang buruk telah terjadi. Perlahan Ewan menatap puncak kepala Lidya yang bergetar akibat menangis. Ia menggenggam tangan wanita itu seolah memberikan separuh kekuatannya dan dengan tegas ia bertanya kepada Terry. "Di sini saja, Ter. Dee berhak untuk tahu apa yang terjadi."
"Aku tidak yakin kekasihmu cukup kuat untuk mendengar kenyataan yang ada, Ewan."
"Dia harus siap," ucap Ewan tegas. Ia mengetatkan genggaman tangannya pada jemari wanita itu. "Apapun yang terjadi, dia sudah berjanji untuk mempercayaiku, Ter."
Mendengar hal itu, Lidya langsung membalas cengkraman tangan Ewan. Pria itu benar, ia sudah berjanji. Lagipula kalaupun sesuatu yang buruk telah terjadi, Lidya harus yakin bahwa Ewan akan membantunya menyelesaikan masalahnya. "I'm fine." Lidya menegakkan tubuhnya dan menatap Terry. "Please, katakan saja apa yang terjadi pada kakakku."
Sejenak Terry hanya menatap Lidya seolah tidak yakin dengan wanita itu, lalu matanya terarah kepada Ewan seakan meminta pertimbangan, namun pria itu malah mengangguk seolah menyuruhnya untuk mengatakan apa yang diinginkannya.
Terry menghela nafas. "Masalahnya tidak hanya terletak pada jantung Harletta," ucap Terry. Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku jas-nya, "Memang, peluru yang hampir saja menembus jantungnya itu sebenarnya bisa berakibat sangat fatal. Tapi masalahnya tidak hanya terletak pada jantung, wanita itu..." Terry menarik nafas. "...sudah diracuni selama lima tahun ini."
Tubuh Lidya menegang dan jantungnya seolah berhenti berdetak ketika mendengar penuturan itu. Ia merasa sulit untuk bernafas, bagaimana mungkin selama lima tahun ini ia berusaha menghindari ayahnya dan menyelamatkan kakaknya, ternyata malah ayahnya tidak pernah sekalipun melepaskannya.
Tidak... Jadi, selama ini Lidya masih menari dan berlari diatas telapak tangan ayahnya. Dan selama lima tahun ini ia telah melakukan hal yang sia-sia. "Itu tidak mungkin..." bisik Lidya. Ia melepaskan genggamannya pada jemari Ewan dan meremas jemarinya sendiri. "Aku menemaninya seharian penuh. Tidak mungkin aku kecolongan! Aku berhenti dalam pekerjaanku. Aku menggunakan tabunganku yang terakhir untuk menetap bersama Harletta, aku bahkan tidak membiarkan siapapun mendekatinya kecuali-"
"...kecuali Dokter," lanjut Terry. Ia menghela nafas pelan, "benar bukan?"
Lidya tidak menjawab. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini, dan otaknya seakan tidak bisa mencerna apa yang dibicarakan oleh Terry. Lidya merasa suara disekitarnya seolah menjadi sebuah degungan. Dan samar-samar ia mendengar suara Ewan disampingnya. "Kau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Harletta, Ter?"
"Tidak banyak. Aku masih mengumpulkan riset dan beberapa sahabatku di luar sana, Ewan." Terry menghela nafas, menutup matanya sejenak dan kembali berkata, "Untuk asumsi sementara, aku merasa dia menggunakan racun yang dimiliki oleh Poison Dart Frog." Terry menatap tegas kearah Ewan, "Binatang itu seharusnya sangat sulit untuk didapatkan, aku bahkan tidak memiliki ide darimana dia bisa mendapatkan racun tersebut."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...