His Temptress | 38

131K 11.9K 1.4K
                                    

Apa yang menjadi milikku, akan selalu menjadi milikku.

-Ewan Marshall Wellington-

Malamnya, Ewan mencium Lidya yang terlentang diatas tempat tidur, dengan cepat ia melucuti seluruh pakaian yang melekat pada tubuh wanita itu, mengecupi seluruh tubuh Lidya dan tidak membiarkan satu pun kalimat protes keluar dari bibir wanita itu. This time, he own her. Tentu saja Ewan berusaha memperlakukan Lidya dengan cukup hati-hati walaupun ia tahu gairahnya tidak semudah itu dikendalikan.

"Marshall... please, kiss me..." bisik Lidya yang menarik kepala Marshall kearahnya, tepat ketika pria itu mencumbunya dengan begitu intens. Lidah pria itu seakan menari-nari diseluruh tubuhnya dan membuatnya bergetar untuk yang kedua kalinya.

Ketika kepala Marshall mendekat, dan bibir pria itu hampir menyentuh bibirnya, pria itu menoleh kearah lain. Sejenak, ia terdiam dan kemudian Ewan mengambil telapak tangan Lidya dan mengecupnya pelan.

Ewan menatap Lidya dan tersenyum, "Bukankah ciuman tidak ada di dalam kesepakatan kita, manis?" Ewan menunduk, mulai mengecupi leher Lidya dan menjilatnya pelan serta memberikan tanda kepemilikan disana. Ia berbisik pelan, "Katakanlah, ciuman memiliki nilai sentimental, dan hubungan kita tidak melibatkan perasaan. Iya kan?"

Lidya tahu, ia terlalu gegabah dengan mengikuti kesepakatan yang diberikan oleh Marshall kepadanya. Mungkin dulu, Marshall akan memperlakukannya seperti barang pecah, begitu lembut hingga Lidya menangis karenanya. Tapi sekarang, ia tahu semua itu sudah hilang.

Karena semua wanita pasti bisa merasakan bagaimana ketika seorang pria mencintainya dan semua wanita pasti bisa merasakan bagaimana berharga dirinya ketika disentuh dengan begitu lembut. Namun ketika Marshall memasukinya dengan gerakan terburu-buru, atau bahkan dengan gerakan lembut seolah berusaha untuk menggodanya... Lidya tidak merasakan cinta.

Lidya tidak bisa merasakan apapun selain kekosongan.

Marshall memperlakukannya seperti wanita lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Pria itu benar-benar melakukan persis seperti apa yang diucapkannya. Bagi Marshall, hubungan mereka sekarang hanyalah sebuah kesepakatan.

Ketika pria itu mencapai puncak dan membuat seluruh tubuh Lidya bergetar. Lidya tetap merasa bahwa semua itu hanyalah hubungan fisik tanpa melibatkan perasaan. Dan bahkan ketika pria itu mencium keningnya yang basah karena keringat, Lidya tidak merasakan apapun.

"Thanks for this wonderful sex. Kau masih sehebat biasanya," bisik Ewan. Ia mendaratkan kecupan di bibir Lidya lalu melepaskan diri dari pelukan wanita itu. Ewan langsung membalikkan tubuhnya ke sisi ranjang yang lain, menarik selimut dan memperlihatkan punggung kepada Lidya.

Lidya menatap punggung Marshall disampingnya. Perlahan-lahan air matanya mengalir, hatinya terasa sakit, seolah-olah ada seseorang yang mencabik-cabiknya. Ia mengulurkan tangan, membuka laci nakas kemudian mengambil sebuah buku dari dalam laci.

Diam-diam Lidya berusaha duduk tegak tanpa mengganggu tidur Marshall disampingnya. Ia menyandarkan punggungnya, membuka buku tersebut dan mengambil lembar foto yang diselipkannya. Foto mereka.

Jemari Lidya mengelus wajah Marshall pada lembar foto tersebut. Ia mengelusnya berulang kali walaupun air matanya mengalir tanpa bisa dihentikannya. Ia memeluk lembar foto tersebut dan mengecupnya berulang kali. Kadang ketika kenyataan menghancurkan kita, bukankah sebuah foto bisa mengubah segalanya?

Jadi, walaupun pada kenyataannya Marshall berlaku dingin kepadanya atau tidak menjadi Marshall-nya yang dulu. Setidaknya, Lidya masih memiliki bukti bahwa Marshall-nya yang dulu memang masih ada. Lidya mengangkat lembar foto tersebut dan mengusap kembali wajah Marshall yang sedang tersenyum kepadanya. "Je suis désolé" (Maafkan aku.)

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang