His Temptress | 46

123K 11.4K 1.1K
                                    

"How do I look?"

Ewan berbalik ketika mendengar pertanyaan itu dari belakangnya. Mata hijaunya berkilat ketika melihat Lidya mengenakan gaun one piece musim panas berwarna peach yang bagian dadanya terlihat begitu tegas dan mencetak bentuk dada wanita itu dengan sangat sempurna. Tentunya, Ewan sudah tahu kalau pakaian itu cocok ditubuh Lidya karena ialah yang membeli seluruh pakaian itu.

Ia berdehem, menggunakan jemarinya untuk memanggil Lidya kearahnya. "Come here," ucap Ewan tegas sekaligus lembut.

Perlahan Lidya bergerak kearahnya masih dengan tatapan bingung. Ketika Lidya berhenti didepannya, Ewan langsung menarik wanita itu masuk diantara kakinya. Ewan menahan senyumnya, dan berusaha untuk tidak langsung menerjang wanita itu. Alih-alih bersikap romantis, Ewan malah tersenyum kecil, "Pakaiannya cocok."

"Terima kasih sudah mengijinkanku memakainya."

"Jangan khawatir, kekasihku tidak akan memperdulikannya. Lagipula itu hanya pakaian." Ewan mendekat dan berbisik ditelinga Lidya, "Dan pakaian sangat cocok dikenakan untuk wanita cantik. Makanya, kau boleh mengenakannya, Dee."

Melihat tubuh Lidya yang mendadak menegang, Ewan tahu kalau ia sudah membuat wanita itu shok dengan ucapannya. Ia memang sengaja menekankan kata 'kekasih', dan Ewan tersenyum lebar. "Bagaimana dengan sarapan paginya? Sudah kau habiskan?" tanya Ewan lagi.

Lidya mengangguk kaku dan tidak mengucapkan apapun lagi.

Ewan melingkarkan tangannya disekeliling pinggang Lidya dan berkata, "Ayo, αγαπητός (Agape mou). Pantai kita sudah menunggu." Lalu ia membawa Lidya melalui pintu belakang yang ternyata menampilkan jalan setapak yang sangat panjang. "Kau ingin berjalan kaki saja atau menggunakan kendaraan?"

Sejenak Lidya tidak menjawab. Ia tidak tahu jawaban apa yang bisa membuat Ewan senang, karena ia masih merasa pria itu akan marah dengan apa yang akan dijawabnya. Tanpa sadar ia meremas tangannya sendiri, dan berkata dengan pelan, "Apakah boleh kalau aku memilih untuk berjalan kaki?"

Ewan tersenyum namun Lidya tidak melihatnya. Entah kenapa Ewan bersyukur karena wanita itu lebih menyukai pemandangan jalan setapak dihadapannya. Ia melepaskan tangannya dari pinggang Lidya dan berjalan di depan wanita itu. Ewan harus menata hatinya lagi, kalau tidak ia pasti sudah meneriakkan kata-kata romantis yang sudah berada di ujung lidahnya.

Ya Tuhan, betapa ia ingin memuja wanita itu. Tapi untuk sekarang Ewan tidak akan melakukannya. Bukan karena ia tidak mau melakukannya, tapi karena ia masih marah. Ewan tahu kalau wanita itu terluka. Ia sangat mengerti kalau wanita itu telah mengambil keputusan yang salah, dan sudah menderita selama lima tahun ini. Tapi Ewan juga punya hati. Ketika wanita itu meninggalkannya, seluruh dunia Ewan berubah.

Tidak ada lagi dunia penuh warna, yang tersisa hanyalah dunia abu-abu yang penuh dengan pertikaian. Jadi walaupun Ewan tahu Lidya tidak sepenuhnya bersalah, ia tetap marah. Harga dirinya sebagai lelaki melarangnya untuk bersikap baik terhadap wanita itu sampai Lidya sendiri yang meminta maaf kepadanya dan bersumpah untuk tidak meninggalkannya lagi. Tapi..

Hatinya menginginkan hal yang berbeda. Hati-nya menginginkan sebuah hubungan yang dulu pernah dijalaninya bersama dengan wanita itu. Ini bodoh. Ewan menghela nafas, lalu berbalik kearah Lidya yang masih berdiri satu meter dihadapannya. "έλα εδώ (Ayo), kalau kau berjalan selama itu, kita tidak bisa menikmati sunbath nanti."

Setelah mengatakan hal itu, Ewan mengulurkan tangannya kearah wanita itu. "Dee, έλα εδώ.(ayo)"

°

Lidya takut Marshall marah kepadanya. Bukan karena pria itu bersikap sangat buruk kepadanya, tapi karena terkadang pria itu seolah-olah larut dengan pemikirannya sendiri, lalu mendadak sikap pria itu akan berubah. Dari dingin menjadi manis. Dari manis menjadi sangat dingin tak tersentuh.

Jadi Lidya takut. Ia takut kalau satu kata sepele bisa menghancurkan mood Marshall, dan Lidya tidak menginginkan hal itu.

Tadi, saat ia berganti pakaian. Lidya melihat begitu banyak pakaian wanita disana. Diantaranya sudah terpakai, atau mungkin saja tidak. Karena label harga sudah dilepas dari pakaian tersebut, dan tidak ada lagi plastik yang membungkusnya. Bukankah itu artinya sudah pernah digunakan?

Lalu Marshall mengatakan 'kekasihnya tidak akan keberatan'. Jantung Lidya seolah ingin melompat dari tempatnya. Ia merasa pria itu sudah mengangkatnya ketempat tertinggi, lalu menjatuhkan tangga begitu saja sehingga yang bisa dilakukannya adalah meloncat dari tempat tinggi itu dan kembali ke kenyataan. Begitu menyakitkan.

Tapi Lidya tidak boleh egois. Marshall berhak memiliki kekasih, bagaimanapun Lidya yang sudah menyakitinya dan kalau pria itu menemukan yang lebih baik, seharusnya ia bahagia bukan? Mendadak pikirannya jatuh kepada Nathalie, wanita berambut pirang yang sama dengannya. Dan bagaimana Marshall terlihat bahagia saat bersama wanita itu. Dan Lidya hampir saja mau menangis ketika mengingat bagaimana mereka berpelukan.

Dan bagaimana saat wanita itu merebahkan kepadanya di lengan Marshall.

"Dee, έλα εδώ(ayo)." Ketika ia mendengar suara tegas dan lembut itu, Lidya langsung mendongakkan kepalanya. Ia cukup terkejut saat melihat Marshall mengulurkan tangan kearahnya dan senyum penuh kesabaran. Ketika ia masih belum juga bergerak, Marshall berkata, "Kau yang akan kesini, atau aku yang harus kesana menjemputmu, Agapi mou?"

Mata hijau Marshall seolah menghujamnya dengan begitu kuat dan mempengaruhi kesadarannya. Perlahan kakinya melangkah mendekati pria itu. Satu langkah, dua langkah... dan semakin banyak langkah yang diambilnya untuk mendekat kearah pria itu, jantungnya semakin berdetak kencang. Dan ketika ia sudah berada dihadapan pria itu, Lidya mengulurkan tangannya dan menyambut uluran tangan pria itu. "Maaf, aku...aku sedang memikirkan sesuatu."

"Memikirkan apa?" tanya Ewan sambil meremas pelan jemari Lidya yang berada di genggamannya sekarang.

"Aku... memikirkan Harletta. Aku rindu padanya." Kita... aku memikirkan kita, Marshall. Namun Lidya tidak berani mengatakannya. "Aku tidak pernah begitu jauh dengannya. Dan aku rasa... aku rindu padanya..."

"Harletta baik-baik saja. Aku bisa memastikan hal itu."

"Aku tahu."

Ewan menarik Lidya lebih erat padanya, mata hijaunya berkilat saat menatap mata coklat Lidya. Ia mengecup wanita itu tepat di bibirnya dan berbisik lirih, "Waktumu adalah milikku sekarang, Dee. Dan tidak satu masalahpun yang boleh kau pikirkan di kepala cantikmu itu, kecuali aku. καταλαβαίνεις? (Do you understand?)"

"Kau... menggunakan bahasa apa?" tanya Lidya pelan.

"Yunani." Ewan tersenyum, jemarinya mengusap lembut pipi wanita itu. Lalu ia menjawab dengan enteng. "Karena sepertinya kau sudah pintar menggunakan bahasa Perancis, jadi aku memutuskan untuk tidak menggunakan bahasa itu lagi untuk berbicara denganmu untuk hal-hal tertentu."

"Kenapa?" tanya Lidya bingung.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kau sengaja menggunakan bahasa yang tidak aku mengerti untuk hal-hal tertentu? Apakah aku tidak boleh mengerti apa yang sedang kau bicarakan?" tanya Lidya. Selama lima tahun ini, Lidya sudah belajar bahasa Perancis karena Marshall sangat menyukai bahasa tersebut. Lidya ingin bisa mengerti apa yang sedang diucapkan oleh pria itu, tanpa ada satu katapun yang ketinggalan. "Apakah... itu kata-kata penting?"

"Penting atau tidak, kau bisa mencari tahu arti itu. Alasanku menggunakannya, bukan karena kau tidak boleh mengetahuinya, αγάπη μου(Agapi mou). Tapi karena aku belum mau membiarkanmu mengetahuinya untuk sekarang ini." Ewan menggenggam erat tangan itu dan tersenyum kecil, "Ayo, sudah lama kau tidak melihat pantai bukan?"

"Apakah mansion ini dekat dengan pantai?"

"Iya. Jalan setapak ini sengaja dibuat supaya pemilik mansion bisa menggunakan waktunya dengan cepat untuk menuju pantai. Lebih menghemat waktu dan kita juga bisa bersenang-senang lebih lama." Jemarinya menujuk satu titik dihadapannya. "Kau lihat pantai didepan kan? Kita sudah hampir sampai."

Mata Lidya tertuju pada pantai biru dihadapannya. Pantai yang begitu jernih dan pasir yang begitu putih, tanpa sadar bibirnya melengkung keatas. Mata coklatnya berbinar-binar penuh kegembiraan. Di sisinya, Ewan menyadari perubahan mood Lidya yang begitu drastis. Ia tersenyum dan mulai berjalan cepat menuju pantai dengan tangannya yang masih menggandeng tangan wanita itu.

TBC | 06 Agustus 2017
Repost | 13 April 2020

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang