"Apa perlu kutemani?" tanya Zia ketika membuka pintu kamar Ewan, sementara Lidya membawa secangkir kopi buatannya. Ketika Lidya tidak menjawab, Zia tersenyum maklum, "Kalau kau ingin aku meninggalkanmu sendirian..."
"Bisakah kau menunggu di depan pintu Zia? Aku hanya akan memberikan kopi ini dan aku akan langsung pulang," ucap Lidya walaupun ia sendiripun tidak yakin apakah ia sanggup meninggalkan kamar Marshall tanpa merasa sedih.
"Baiklah, aku berada tepat di depan pintu kalau kau membutuhkanku."
Lidya mengangguk sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Dan ketika Zia menutup pintu di belakang tubuhnya, Lidya merasa semua ini salah. Mungkin seharusnya ia menerima ajakan Zia untuk menemaninya. Mungkin seharusnya... genggaman Lidya pada kopi mengetat ketika memikirkan kemungkinan kalau bisa saja Marshall bangun.
Aku membutuhkanmu...
Ucapan Marshall itu seolah menjadi penenang bagi seluruh ototnya yang tegang. Iya, Lidya hanya perlu mengingat apa yang harus dilakukannya, dan demi siapa. Dengan pemikiran seperti itu, Lidya memajukan langkahnya dan berhenti tepat disamping tempat tidur. Ia meletakkan kopi tepat di atas nakas, dan melihat Marshall tertidur dengan sebuah ponsel disamping telinganya.
Ia duduk di pinggir tempat tidur berusaha tidak bersuara, namun matanya masih tetap memandang pria yang tertidur diatas kasur seolah-olah ingin mengingat setiap detik yang bisa diambilnya. Perlahan, tangan Lidya terulur dan merapikan rambut Marshall yang menutupi pelipisnya, lalu ia mengambil ponsel yang ada disebelah kepala pria itu.
Lidya tersenyum kecil dan menggeleng, "Kebiasaan. Bukankah sudah sering kali kuperingatkan, jangan meletakkan ponsel disebelahmu ketika tertidur?"
Dan yang didapatkan Lidya hanyalah jawaban berupa erangan pelan dari pria besar disampingnya. Lidya kembali tersenyum dan kali ini ia mengelus tangan besar Marshall dengan gerakan perlahan. "Jangan menyakiti dirimu, Marshall." Kemudian Lidya menghapus setitik air mata yang hampir jatuh, dan ketika menatap pria itu kembali, ia tersenyum sambil terkekeh pelan walaupun air matanya masih saja mengalir. "Bukankah biasanya kau akan mengatakan dengan percaya diri kalau kau tidak pernah mabuk?"
"Kau tidak pernah mabuk, Marshall. Dan kalau kau mabuk..."
"Kalau aku mabuk, berarti saat itu aku sudah kehilangan kontrol diriku sendiri, Dee. Jadi, aku membutuhkanmu untuk kembali membuatku sadar. Kau mengerti 'kan?"
"Marshall, aku sedang tidak bisa berada disisimu untuk membuatmu mendapatkan kembali kontrolmu..." Lidya berbisik pelan sambil menggenggam tangan Marshall dengan gemetar, "So please, please... s'il vous plaît ne pas mal vous-même."
Jangan sakiti dirimu.
Lima menit kemudian, Lidya memutuskan untuk bangun karena ia tidak mau sampai Marshall bangun dan melihatnya disana. Pria itu tidak akan senang, karena Lidya tahu apapun yang terjadi dan seperti apapun perasaan pria itu, Marshall tidak menunjukkannya kepada-nya.
Saat Lidya hendak bangun, mendadak tangannya ditarik dengan kasar hingga membuat tubuhnya berbalik dan wajahnya berada dekat dengan wajah Marshall, bedanya kali ini mata pria itu terbuka dan Lidya bisa melihat jelas mata hijau Marshall. Kemudian pria itu berkata, "savoir si temps cette vous volonté laisser Je à nouveau?"
Apakah kali ini kau akan meninggalkanku lagi?
Tapi itu hanya sejenak, karena setelah berkata seperti itu mata Marshall menutup dan melepaskan genggaman tangan Lidya. Sementara itu Lidya menelan saliva-nya dan bibirnya bergetar.
Lidya tidak pernah benar-benar sanggup menghilangkan keberadaan pria itu walaupun telah berulang kali melakukannya, dan kemudian ia akan bangun dalam tidurnya dengan tangan meraba sesuatu disampingnya. Ketika Lidya sadar orang yang dicarinya tidak berada disampingnya, ia menangis dan kemudian menangis lagi hingga tertidur.

KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...