His temptress | 7

138K 12.5K 555
                                    

"Aku sudah bilang, aku tidak mau bertemu dengan wanita itu, Maxie," ucap Ewan malas. Ia menggigit anggur yang ada di hadapannya, kali ini ia sedang menghancurkan dapur Aram sementara sahabatnya itu sedang tertidur pulas. "Terserah apa katamu, aku tidak tertarik. Jadi kalau aku bilang tidak mau, berarti keputusanku adalah mutlak."

"Kau tidak mau mendengar dulu siapa wanita yang ingin bertemu denganmu?"

"Tidak. Yang pasti wanita itu membosankan, sama seperti sekretarismu itu, Maxie. Dan aku sedang tidak ingin terlibat dengan wanita manapun sekarang ini."

Jeda panjang terjadi sebelum akhirnya Max berkata pelan dan lirih dari seberang telepon. "Lidya Prescott. Masih tidak tertarik?"

Jawaban itu membuat Ewan marah, langsung saja ia berdiri dari sikap santainya, menggenggam erat ponsel ditangannya dan berkata dengan suara mematikan yang tidak pernah diperdengarkannya pada siapapun. "Kalau kau membahas dia sekali lagi, maka kuanggap kau bukan lagi temanku, Maximillian Russell."

"Aku tidak ingin membahas dia, tapi masalahnya wanita itu mendatangiku dan-"

"Kalau begitu usir dia seperti kau mengusir wanita lainnya."

Max menghela nafas panjang dan kembali berkata dengan nada yang lebih hati-hati, "Dia membutuhkan bantuanmu, Ewan. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau dia tidak lebih dari seorang pengganggu. Tapi dia membutuhkanmu."

"Dan aku tidak membutuhkannya, Max. Do you hear me? I don't need her, aku tidak lagi membutuhkan satu masalah dalam hidupku."

"Ewan-"

"Aku rasa kau sudah melangkah terlalu jauh, Maximillian Russell. Seperti ucapanku barusan, kalau sekali lagi kau membawa nama wanita itu dihadapanku, aku akan menganggapmu sebagai musuh, dan kau tidak akan mau hal itu terjadi. Aku bukanlah orang yang bisa dianggap musuh, Max." Ewan menatap jendela di hadapannya dengan tatapan nanar yang tidak terbaca, lalu ia berkata dengan dingin, "Bagiku wanita itu sudah mati."

Lalu ia memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Tepat di saat yang bersamaan, Ewan mendengar suara pintu terbuka dan memperlihatkan Aram dalam keadaan topless sambil menggaruk tengkuknya dengan wajah mengantuk. Alis tebal Aram mengernyit ketika melihat punggung Ewan. "Ewan? Apa yang kau lakukan di sini?"

Tubuh Ewan menegang. Emosinya masih belum kembali, ia masih marah dengan apa yang baru saja terjadi, tapi biasanya ia akan mudah mengendalikan emosinya bukan?

Ewan membalikkan tubuhnya, awalnya tatapan mata hijaunya berkilat penuh amarah kemudian berubah menjadi kilat jenaka yang dibuat-buat. "Aku datang untuk mengacak-acak dapurmu."

"As always, dan bodohnya aku berharap kau datang kesini dengan mengemban tugas mulia,"gerutu Aram. Ia duduk di salah satu sofa ruang tamu dan meminum kopi milik Ewan.

"Jangan bodoh. Tidak ada tugas yang lebih mulia daripada membangunkan sahabatku yang sangat sulit bangun." Ewan tertawa dan memasukkan sebutir anggur kedalam mulutnya. Kemudian ia mengambil jas-nya dan berjalan ke arah pintu keluar, "Anyway, istrimu menghubungimu. Nampaknya dia marah karena aku membuat lelucon mengenai seberapa panjangnya itu mu."

Ewan menunjuk kearah kejantanan Aram yang membengkak. Efek pagi yang biasa timbul dan pastinya dirasakan oleh semua pria. Aram mengumpat dan berteriak, "Apa lagi yang kali ini kau lakukan, Ewan?!"

Ewan tertawa.

"Tanyakan saja kepada istrimu. Sungguh, aku hanya mengiriminya video ketika aku mencium keningmu, sementara kau mendesah dalam tidurmu." Ewan melambaikan tangan kearah Aram, membuka pintu dan sebelum menutupnya ia berkata, "Jangan lupa untuk mandi air dingin, Aram. Kau membutuhkannya, istrimu tidak ada di sini untuk memberikan morning sex kepadamu, dan aku masih memiliki urusan lain jadi tidak bisa menemanimu untuk memuaskan nafsu pagimu."

"GO AWAY EWAN!!"

Lalu pintu tertutup begitu saja.

°

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Max merasa telah menjadi sahabat yang sangat buruk. Ia menatap ponselnya dan mengerut tidak suka. Ewan tidak pernah mematikan ponsel darinya, pria itu tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Maximillian Russell.

Ewan hanya melakukannya ketika pria itu marah-sangat marah.

Ia menghela nafas panjang dan menatap seorang wanita yang terbaring di atas tempat tidur dengan selang terpasang di lengannya, monitor kehidupan dan bau rumah sakit yang tidak disukai oleh Max.

Hari ini, istrinya mengajak Max untuk menemui Mary Harletta, kakak tiri Lidya. Dan walaupun Max tidak menginginkannya, ia tetap saja tidak memiliki kuasa untuk menolak istrinya, tidak ketika istrinya menatapnya dengan pandangan memohon. Itu menjadikannya seorang pria yang tidak memiliki hati.

Mendadak Lidya masuk dan terperangah mendapati Max berada di sana. "Aku tidak tahu kalau anda akan datang hari ini."

"Istriku tidak mengatakannya kepadamu?"

Lidya menggeleng.

"Di mana istri anda, sir?" tanya Lidya ketika menyadari tidak ada Mrs. Russell di ruangan kakaknya itu. "Apakah anda sendirian di sini?"

"Kalau bisa memilih, aku memilih untuk tidak terlibat lebih dalam denganmu Ms. Prescott." Max tahu ia telah mengatakan hal yang kejam, hanya saja itulah apa yang dipikirkannya. Keberadaan dan kedatangan wanita itu telah menguak emosi Ewan yang tidak lagi ingin dilihatnya. "Kesalahan bisa dimaafkan namun tidak dapat dilupakan, tapi harga diri pria yang telah terluka tidak dapat di susun kembali."

"Aku tidak mengerti kenapa anda mengatakan hal itu kepadaku."

Max menatap Lidya dengan pandangan yang tidak dapat ditebak, kemudian ia mengendikkan bahunya sambil berjalan melewati wanita itu dan berkata, "Hanya memberitahumu saja, kau akan menyesal kalau menginginkan Ewan membantumu."

"Aku akan menanggung konsekuensinya, karena hanya pria itu yang bisa menolongku. Harletta lebih penting dibandingkan konsekuensi. Anda masih memiliki keluarga, jadi anda tidak mungkin mengerti apa yang kurasakan sekarang ini."

"Bukan hanya kau yang pernah merasa kehilangan, Ms. Prescott. Semua orang pernah merasakannya."

"Tapi anda memiliki istri yang saat anda pulang, anda akan disambut dengan hangat. Sementara aku..." Lidya menatap Harletta, kakaknya dengan pandangan sedih sebelum akhirnya menatap Max kembali,"Aku hanya memilikinya, hanya Harletta yang aku miliki."

Karena aku sudah kehilangan segalanya, lanjut Lidya dalam hati.

"Kemana kedua orangtuamu? Seharusnya dia ada di sini untuk menemanimu."

Lidya menggeleng pelan. "Kedua orangtuaku sudah tidak ada, mereka meninggal karena kecelakaan mobil." Lidya menarik nafas dan tersenyum kecil, "Kami hanya memiliki seorang kakek."

"Kalau begitu dimana kakekmu, miss Prescott?" tanya Max seolah menginterogasi wanita dihadapannya.

"Kami memiliki satu dua hal masalah yang sulit dibicarakan, Sir. Bisakah kita mengabaikannya?"

"Kau masih memiliki kakakmu, tapi ada orang yang sudah kehilangan segalanya. Jangan menganggap hanya anda saja yang terluka, miss Prescott." Diam-diam Max melanjutkan dalam hati, dan aku menambahkan luka itu.

Sebelum Lidya bertanya apapun, Max keluar. Sepeninggalan Max, Lidya berjalan kesisi Harletta dan berbisik pelan."Aku hanya memilikimu Harletta. Jadi, berbaik hatilah sedikit padaku dan segera sadar. Mau kan?"

TBC | 11 June 2017

Repost | 4 Maret 2020

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang