"Mama salah. Dia tidak akan pernah kembali." Lidya mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Hatinya seolah ingin meledak, ia ingin memuntahkan seluruh perasaan yang selama ini di tahannya. Persetan dengan janjinya. "Hanya dia yang tidak bisa kumaafkan, Ma. Kau tidak tahu seberapa besar ia membenciku dan kau tidak tahu seberapa besar aku membencinya..."
Lidya berjalan ke salah satu ruangan melalui ruang penghubung. Ruangan itu digunakan untuk Marshall sebagai ruangan kerja dan Lidya tidak boleh menyentuhnya sama sekali. For your safety, Agapi Mou. Tapi Marshall salah, Lidya mengetahui lebih banyak dari yang diinginkannya.
Ia tahu seberapa besar pengaruh Marshall di lingkungan dunia hitam, ia tahu seberapa besar kekuatan Marshall terhadap dunia dan Lidya juga tahu...sebanyak apa senjata tersembunyi di ruangan tempat mereka tinggal.
Dan bahkan, hotel Maximillian bisa diubah menjadi rumah pribadinya hanya dalam beberapa jam. Tidak dalam jentikan jari memang, tapi tetap saja... pria itu memiliki segala yang bisa menghancurkan seseorang.
Perlahan Lidya masuk ke dalam ruangan tersebut, kakinya melangkah ke meja kerja Marshall yang berada di ujung ruangan. Di mana sinar matahari siang memaksa masuk dan menyemburkan sinarnya sehingga meja yang terbuat dari kayu mahoni itu terlihat lebih berkilau daripada biasanya.
Jemari Lidya meraba permukaan meja tersebut, merabanya hingga ke bawah meja. Ketika suara 'Klik' terdengar, ia mengangkat kembali tangannya dengan menggenggam Berettta 92. Lidya menelan saliva-nya ketika melihat pistol di tangannya. Ini pertama kalinya ia melihat pistol dan menggenggam benda itu.
Benda itu terasa berat di tangannya dan sejenak ia merasa jantungnya berpacu, seolah pikirannya menyuruhnya untuk meletakkan kembali senjata itu di tempatnya semula.
Bunuh atau membunuh? Bertahan atau mempertahankan?
Dan ketika pertanyaan itu terlontar di benaknya, genggamannya pada pistol tersebut yang sempat melonggar kini kembali mengencang. Ia mengangkat pistol itu hingga setara dengan dadanya. Walaupun jantungnya berpacu dengan cepat, hatinya seolah memburu marah.
"Letakkan senjata itu pada tempatnya, Miss Prescott."
Ucapan itu terlontar begitu tenang, sehingga Lidya langsung menoleh dan menyadari bahwa Samuel salah satu staff Marshall telah berada di ruangan. Lidya tidak menjawab sama sekali, dan genggamannya pada pistol tidak melonggar. Ia hanya menatap Samuel tenang seolah pria itu tidak mengeluarkan aura intimidasi sama sekali.
Namun pada kenyataannya, Samuel telah memasukkan tangan ke dalam sakunya. Ia berusaha menahan dirinya untuk tidak menyergap wanita yang dengan lancangnya masuk ke ruangan Ewan. "Letakkan senjata itu dan kembalilah ke ruangan sebelah. Jelas sekali bahwa kau masuk tanpa ijin, Miss Prescott."
"Dan bagaimana kalau kubilang aku tidak mau mengikuti ucapanmu?"
"Maka aku harus meminta surat pengunduran diri dari Ewan karena bersikap kasar kepada anda." Mata keemasan milik Samuel terasa dingin saat menatap Lidya. Seorang perempuan tidak diperkenankan untuk memegang senjata, dalam keadaan apapun. Dan itulah yang membuat Samuel marah. "Wanita tidak diperkenankan untuk memegang senjata. Bersikap baiklah, Miss—"
Dan Lidya tertawa.
Samuel mengernyit. "Kenapa kau tertawa?" tanyanya bingung. Dan tatapannya mulai melembut ketika melihat Lidya kembali meletakkan senjata tersebut ke bawah meja seperti semula. "Aku tidak merasa ucapanku lucu."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...