"Jadi, kau memutuskan untuk meninggalkannya sekarang?" tanya Max. Ketika ia melihat Ewan tidak menjawab, ia berkata, "Kalau begitu lepaskan semuanya. Lepaskan Harletta dan usir wanita itu dari rumahmu, Ewan."
Kepala Ewan terangkat dan kali ini Max bisa melihat gurat luka dimata hijau pria itu. Max tahu kalau Ewan tidak akan melakukan hal itu. Max berdiri dari tempat duduknya, memasukkan tangan kedalam saku dan kembali berkata, "Kau sadar satu hal tidak, Ewan?"
"Apa?" tanya Ewan.
Max tersenyum kecil. "Kau tidak pernah menempati rumahmu lebih dari satu hari, dan kau bahkan tidak pernah membiarkan satu wanitapun masuk kedalam teritori-mu. Apalagi rumahmu yang di Las Vegas. Kau tidak pernah memberikan ijin kepada mereka untuk memasuki rumah itu atau sekadar lewat Ewan."
"Aku membiarkanmu memasuki teritori-ku, Max."
"Kau tahu kalau hal itu tidak sama dengan apa yang sedang kumaksudkan, Ewan." Max menggeleng pelan. "Tanpa kau sadari, kau masih menginginkannya, Ewan."
Aku tahu.
Perlahan Max berjalan menuju pintu, sebelum keluar dari ruangan Ewan, ia kembali berkata sekali lagi untuk menyadarkan Ewan. "Dan kau memberikannya ijin untuk menjelajahi rumah-mu, teritori-mu dan tempat dimana kau mengunci semua perasaanmu, Ewan. If you get my code, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan."
Setelah kepergian Max, Ewan terdiam. Ia tahu apa yang diinginkan hatinya, tapi masalahnya ia tidak bisa melakukan hal itu. Ewan belum bisa sekali lagi mengambil keputusan sekarang ini. Mungkin Max benar, seharusnya ia tahu apa yang harus dilakukannya. Mungkin Max juga benar saat memberikannya masukkan untuk melepaskan semuanya.
Tapi Ewan tidak bisa melakukannya.
Dan Ewan tidak tahu apa yang merasukinya, tapi yang ia tahu sekarang ia harus kembali. Ke tempatnya semula... satu-satunya tempat yang selalu dirindukannya.
Tanpa memikirkan apapun lagi, Ewan mengambil ponselnya dan berlari keluar dari ruangan kerjanya. Ia bahkan mengabaikan teriakan serta panggilan dari beberapa staff-nya. Yang ingin dilakukan Ewan sekarang adalah kembali.
◦
Satu jam kemudian, Lidya memegang foto yang membawa nostalgia itu dengan erat. Ia keluar dari ruangan dan melihat Alfredo tengah berdiri didepannya. Pria setengah baya itu tersenyum lalu mengulurkan lap hangat kearahnya. "Anda pasti lelah setelah menangis, saya sudah menyiapkan lemon hangat untuk menghangatkan tenggorokan anda."
"Al..." bisik Lidya pelan.
Alfredo mendekat, memberikan lap hangat itu. Tangan besar Alfredo mengelus puncak kepalanya dengan gerakan lembut. "Apa ada sesuatu yang harus saya lakukan?" tanya Alfredo lembut.
"Iya..." bisik Lidya.
Ia mengangkat kepalanya, tangannya menggenggam lap hangat itu dengan erat. Sementara hatinya memutuskan sesuatu. Iya, seharusnya ia memang melakukannya. Kalau memang ini adalah jalan tersulit untuk kembali, Lidya akan tetap melakukannya. "Aku ingin kembali, Al. Aku harus kembali..." bisiknya pelan.
"Tuan pasti sedang dalam perjalanan kembali, atau nanti malam tuan pasti akan—"
Lidya menggeleng cepat, menghentikan ucapan Alfredo. Ia menarik nafas dan mengangkat kepalanya. Tangannya memegang foto tersebut seolah berusaha menguatkan hatinya, "Aku harus kembali, Al."
"Tuan Marshall akan—"
"I will not wait him, Al." Lidya tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Ia menghapus air mata dari sudut matanya dan membisikkan ucapan itu untuk dirinya sendiri, terlepas apakah Alfredo akan mendengarnya atau tidak. "karena dia sudah menunggu selama lima tahun..."

KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...