Tiga Jam yang lalu.Lidya memeluk tubuhnya sendiri dan merasa cukup terpukul dengan perubahan diri Marshall, ia menggigit bibirnya dan memaksakan dirinya untuk tidak menangis. Kalau memang Marshall tidak menyukai tangisan, maka dia tidak akan menangis. Lidya akan menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata.
"Apa anda sudah siap untuk pergi?"
Langsung saja Lidya mendongakkan kepalanya dan melihat pria setengah baya berdiri disampingnya dengan sopan. Pria itu tersenyum dan menunduk hormat kepadanya, "Nama saya Alfredo, pelayan pribadi Tuan Marshall." Setelah memperkenalkan dirinya, Alfredo menegakkan tubuhnya dan tersenyum lembut. "Tuan Marshall menugaskan saya untuk mengantar anda ke rumah, tempat dimana seharusnya anda menunggu beliau."
"Rumah?" bisik Lidya lemah.
Alfredo mengangguk. "Rumah, dimana anda bisa beristirahat. Itulah maksud Tuan Marshall, beliau mengkhawatirkan kesehatan anda kalau masih terus dirumah sakit." Sebelum Lidya mengucapkan sepatah katapun, Alfredo sudah melanjutkan kalimatnya. "Jangan khawatirkan Nona Harletta, dia berada di tangan para ahli dan tentunya akan baik-baik saja, saya bisa menjamin hal itu."
"Di mana Mar—Maksudku Ewan."
Perlahan Alfredo menggenggam tangan Lidya dan mengajak wanita itu bangkit dari duduknya. Kemudian ia membawa Lidya keluar dari rumah sakit, menuju mobil hitam yang sudah dipersiapkan. "Tuan Marshall sedang memiliki pekerjaan yang sangat mendesak sekarang ini. Jadi, anda bisa menenangkan diri anda di sini," ucap Alfredo ketika mereka telah berada didalam mobil.
Mobil tersebut langsung melaju begitu mereka duduk didalamnya, seolah-olah telah diperintahkan sedemikian rupa.
Di dalam mobil, Lidya tidak berkata apapun. Ia tidak ingin tahu mengenai Marshall, ia sudah cukup mengetahui apa yang harus diketahuinya. Diam-diam ia menghapus air matanya dan menoleh kearah lain agar Alfredo tidak melihat air matanya. Dan ternyata pria itu telah melihat segalanya dari awal.
Alfredo menepuk pelan punggung tangan Lidya dan berkata, "Tuan Marshall mungkin sudah menyakiti anda dengan kata-kata pedasnya. Tapi percayalah, dia masih belum berubah."
"Dia sudah berubah," bisik Lidya kepada Alfredo. Ia tersenyum miris dan berkata, "Marshall yang aku kenal sudah tidak ada. Dan seperti yang dikatakannya, Marshall yang sekarang bukanlah Marshall yang dulu. Yang ada dihadapanku hanyalah sosok Ewan."
"Tuan Marshall sudah tidak memiliki ibu." Alfredo menutup matanya sekilas dan mulai bercerita. "Mungkin anda sudah mengetahui hal ini. Tapi seberapa besar yang anda ketahui? Tuan Marshall tidak dianggap sebagai manusia oleh ayahnya sendiri, bagi Tuan Robert, keberadaan Tuan Marshall sama seperti perusahaan yang dimilikinya. Sebuah property yang ada dan dirawat dengan hati-hati agar bisa berguna sewaktu-waktu."
Alfredo membuka matanya dan tersenyum ketika Lidya menatapnya dengan pandangan tdiak suka. "Ketika Tuan Marshall akhirnya jatuh cinta, beliau terlihat lebih hidup dibandingkan sebelumnya. Kalau sebelumnya Tuan Marshall bisa tersenyum, kali ini Tuan Marshall bisa tertawa dalam arti yang sesungguhnya. Dan ketika hari pernikahannya..."
"Dia hancur dalam hal yang sebenarnya," ucap Alfredo. "Tuan Robert mempermalukan Tuan Marshall dihadapan seluruh keluarga Wellington, dan saat itulah Tuan Marshall memutuskan untuk membuang segalanya."
Tangan Lidya mengetat dipangkuannya, sementara hatinya menahan rasa sakit yang perlahan-lahan kembali lagi. "Jangan salah paham, saya tidak menyalahkan anda Nona Prescott."
Mendengar namanya dipanggil, Lidya mendongakkan kepalanya dan ia melihat Alfredo tersenyum. "Saya tahu siapa anda."
"Aku..."

KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...