89

110K 9.5K 1.6K
                                    


Selama sepuluh menit mereka berada di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruangan perpustakaan dengan sebuah tirai tinggi terbuka lebar, dengan jendela yang berayun lembut akibat udara malam. Malam ini hembusan angin terasa lebih dingin dan sinar rembulan mengintip masuk melalui celah jendela yang terbuka.

Lidya menatap ruangan itu seolah tengah mengenang masa lalu.

Ruangan ini sama dengan perpustakaan di mana ia bertemu pertama kalinya dengan Marshall. Ia sangat ingat bagaimana pria itu mengenakan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya dan dengan sebuah buku di pangkuannya. Dan bagaimana... hanya dengan memandang pria itu membuat Lidya ingin melarikan diri.

Mata Lidya menatap kearah Ewan yang masih menggerutu di dekat jendela. Ia mendekati Ewan perlahan dan tersenyum kecil. "Jangan katakan benci ketika kau masih bisa merasakan simpati..."

Ucapan itu membuat Ewan menghentikan gerutuannya dan melihat kearah Lidya. Lalu wanita itu kembali berkata, "...dan jangan katakan kau peduli ketika kau tidak bisa menunjukkannya."

Tatapan mereka saling bertemu. Jemari Lidya terulur mengelus jemari Ewan dengan lembut dan mengaitkannya. Ia tersenyum kecil saat mengingat ucapan tersebut, lalu Lidya menjilat bibirnya beberapa kali ketika menyadari mata hijau di hadapannya penuh dengan ungkapan cinta.

"Itu adalah kalimat yang membuatku jatuh cinta dengan pria itu..."

Tepat wanita itu mengucapkan satu kalimat yang terdengar penuh cinta, Ewan mendengar sebuah alunan lagu dansa yang mengintip malu-malu dari sela pintu lalu Ewan menarik tubuh wanita itu mendekat kearahnya. Dan mengajak wanita itu berdansa dengan alunan lagu yang kecil itu, dengan sinar rembulan yang menjadi spotlight mereka.

Tubuh mereka berdekatan satu sama lain dan mengikuti ayunan irama musik hingga Ewan memaku tatapan wanita itu dengan ucapannya. "Apakah pria itu masih membuatmu jatuh cinta di bandingkan pria yang sekarang?"

"Yes..." jawab Lidya penuh percaya diri. "Aku masih mencintai pria yang membuatku jatuh cinta dengan dua kalimat itu. Dan ratusan dollar yang dimiliki pria sekarang tidak ada artinya bagiku. Dia... sudah mencuri hatiku."

"Jadi, kau menolak pria yang sekarang?" Mata Ewan berkilat saat mengatakan hal tersebut. "Walaupun kau tidak bisa mengenyahkan kenyataan bahwa kekayaan pria itu yang membuatmu bertahan?"

"Iya..." jawab Lidya sambil berbisik.

Ketika itu, tubuh mereka berpisah mengikuti aturan dansa dan Ewan menarik tangan wanita itu hingga memutar kearahnya lalu kembali memeluk tubuh mungil tersebut. Ia menghentikan semua gerakan dan menghirup udara segar di sekitarnya. Tatapan mereka saling memaku satu sama lain, salah satu lengannya berada di pinggul wanita itu seolah menahan wanita itu di sana, sementara tangannya yang lain merangkum rahang Lidya dengan lembut dan pasti.

"Aku tidak mencintaimu karena Jake. Kau adalah alasan mengapa aku tidak mengungkapkan jati diriku, Agapi Mou." Ewan menelusuri pipi halus Lidya dan mengusapnya lembut. "Karena aku peduli padamu. Karena kau adalah segala yang penting bagiku. Dan karena aku tahu kau tidak memperdulikan siapa aku dan seperti apa diriku. Karena ketika kita berdua, aku hanya melihat kita dan tidak memperdulikan apa yang dipikirkan orang lain."

Kalimat itu terdengar bagaikan alunan musik yang sangat sempurna bagi Lidya, dan hanya itu yang penting baginya. Lidya mengulurkan tangan kearah Ewan dan mengusap rahang kokoh itu dengan luapan cinta yang dimilikinya. "Dulu, kita berdansa di perpustakaan yang sempit."

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang