Happy reading, peeps!
Segalanya terlihat sempurna bagi Ewan. Sarapan dengan Dee, segelas kopi dan juga berita pagi, tidak luput juga dengan keberadaan Eugene yang terus memberikannya setumpuk kerjaan. Oh ya, segalanya terlihat sempurna dan baik-baik saja. Bahkan keisengan Aram yang berpura-pura merekam adegannya dengan Dee pun masih terasa sempurna.
Hingga ia mendengar setiap ucapan yang begitu pahit untuk di dengar. Walaupun Ewan percaya bahwa ia sudah menguliti seluruh duri di tubuh Prescott, ia masih saja menyadap setiap telepon masuk dari ponsel Lidya. Ia bukannya tidak percaya, hanya saja Ewan membutuhkan sebuah guarantee bahwa wanita itu akan baik-baik saja.
Ewan mendengar setiap perkataan yang sengaja di ucapkan Lidya hanya untuk menyakiti ayahnya. Tapi ia juga tahu setiap perkataan yang dilontarkan oleh wanita itu bukannya menyakiti Jake namun diri wanita itu sendiri dan Ewan sangat tidak menyukai kenyataan itu.
Setelah ia memberikan Lidya waktu untuk menangis, ia berjalan pelan kearah Lidya lalu merengkuhnya erat dari belakang. "Sudah selesai merenung?" Tanya Ewan. Ia sengaja menekankan kata merenung untuk mengingatkan Lidya bahwa Ewan telah memperhatikannya sedaritadi.
"Aku tidak merenung."
"Bersungut-sungut?" Tanya Ewan lagi, sengaja memancing kemarahan wanita itu. "Atau... merengek?"
Kali ini Lidya membalikkan tubuhnya, mendorong tubuh Ewan keras dan dengan kesal menjawab pertanyaan pria itu. "Aku tidak merenung, aku tidak bersungut-sungut dan aku tidak sedang merengek!!"
"Kau marah kalau begitu."
"Aku sudah bilang—"
"Setidaknya amarah terlihat lebih baik di bandingkan aku harus melihatmu meneteskan air mata dalam diam." Ucapan Ewan membuat tubuh Lidya mematung namun wanita itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Sampai akhirnya Ewan mengusap puncak kepala Lidya dengan lembut. "Sakit?"
Lidya menggeleng.
"Apakah menyesakkan?" Tanya Ewan.
Lidya mengangguk.
Perlahan Ewan melingkarkan lengan di sekeliling tubuh Lidya, merapatkan tubuh wanita itu pada tubuhnya sendiri sementara Ewan menyandarkan punggungnya pada sisi jendela. Sejenak, ia mengayunkan tubuh Lidya pelan seraya mengusap punggung wanita itu dengan lembut. "Aku tidak masalah kalau kau ingin menangis."
"Aku tidak ingin menangis."
Ewan tahu bahwa selama ini Lidya sudah berjuang agar tidak menangis walaupun dari sepuluh kali percobaan, wanita itu telah gagal melakukannya sebanyak Sembilan kali. Tapi tetap saja, wanita itu telah berusaha. "Dulu aku selalu menangis kalau ayahku mengatakan sesuatu yang jahat," aku Ewan pelan.
Hal itu membuat Lidya mengangkat kepalanya dan bertanya, "Benarkah?"
Ewan mengangguk.
"Tentu saja aku menangis. Bagi anak kecil, hal terburuk adalah melihat kedua orangtuamu bersikap seolah-seolah mereka adalah pasangan paling sempurna di luar dan hancur di dalam. Dan kemanapun kau pergi, kau hanya menemukan sebuah pujian untuk orangtuamu, seperti 'Wah kau sangat beruntung memiliki ayah dan ibumu. Mereka sangat sempurna.' Atau 'Lihat, papa-mu sangat tampan, tidak heran kalau mama-mu menerimanya.' "Ewan tertawa kecil sementara matanya meredup ketika menatap Lidya. "Dan tidak ada yang bisa kau lakukan kecuali berusaha untuk tersenyum, Agapi Mou."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...