Ewan coming!
Max bersidekap dan menyipitkan matanya. Semua ini terdengar sangat tidak masuk akal baginya. Bayangkan saja, ada orang gila yang memasang bom pada pacemaker dan bahkan orang itu tengah sekarat? Apa di dunia ini tidak cukup Ewan saja yang gila? Apa benar-benar dibutuhkan orang gila lainnya untuk mengimbangi kegilaan sahabatnya itu?
For God Sake, ini semua benar-benar diluar akal sehat.
Berulang kali Max menghela nafasnya, sementara Zia memegang lengannya seolah berusaha menenangkan sarafnya yang tegang. "Jadi, kalau aku tidak salah menangkap maksud kata-katamu, Ewan adalah satu-satunya orang yang bisa membantumu untuk melepaskan bom di pacemaker kakakmu?"
Lidya mengangguk.
"Dan kau benar-benar berpikir aku adalah orang yang bisa membantumu bertemu dengan Ewan?" Tanya Max lagi.
Lidya mengangguk lagi dengan mantap.
Kali ini Max berdiri dan menghembuskan nafas lelah. Sudah terlalu banyak kegilaan dalam sepuluh menit ini dan Max merasa ia sudah sangat berbaik hati dengan membiarkan wanita itu mencekoki kepalanya dengan kegilaan yang tidak pada tempatnya. Bom pada Pacemaker, dokter bedah yang berperan sebagai pembunuh bayaran hingga memasang bom gila itu, dan... Kakak perempuan yang hampir sekarat?
"Maaf kalau aku akan membuatmu sedih, tapi lupakan saja ide gila-mu yang ingin bertemu dengan Ewan, karena dia tidak akan pernah mau bertemu denganmu."
Zia berdiri dan menatap Max dengan wajah penuh permohonan, "Tidak bisakah kita menanyakan langsung kepada Ewan? Mungkin saja dia..."
"Tidak, Zia." Max menghembuskan nafas frustrasi. "Ewan tidak akan mau melakukannya. Dia mungkin akan melakukannya apapun untuk menolong Gabe, Aram ataupun aku, tapi dia?" Tatapan Max terarah pada Lidya yang masih terpaku karena ucapannya lalu menggeleng. "Ewan tidak akan melakukannya, Zia. Mark my word. He'll never do that."
"Kita bisa..."
"Membohonginya? Menipunya? Mengakali bagaimana caranya agar Ewan mau membantunya? Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya, Zia."
"Max, kita harus membantunya. Kau dengar sendiri kalau kakaknya..."
"Indeed. Aku sedaritadi memang mendengarnya, tapi aku tidak pernah berkata akan membantunya. Kau memintaku untuk mendengar masalahnya, aku sudah melakukannya tapi jangan minta aku untuk memaksa Ewan untuk melakukan hal yang tidak disukainya, Zia. Aku tidak bisa melakukan hal itu."
Zia menatap suaminya dan tahu kalau sepertinya Max memang sudah bertekad untuk tidak membantu wanita itu. Ia menghembuskan nafas pelan dan bertanya kepada Max untuk yang terakhir kalinya hanya sekedar untuk menenangkan perasaannya. "Ewan biasa memaksamu. Kenapa kita tidak bisa memaksanya untuk menolong Lidya? AKu rasa kau salah, Max. Ewan tidak sekejam itu, dia bahkan mau membantu Aria. Dia membantu mengetes DNA..."
"Karena kau maupun Aria adalah wanita yang berharga bagiku, dan karena itu Ewan mau melakukannya. Tapi wanita itu..." Max menatap Lidya dengan tajam dan berkata dengan dingin, "...wanita itu bukan siapa-siapa."
"Max!"
"Wanita itu akan menjerumuskan Ewan kedalam masalah dan aku tidak menginginkan hal itu. Sudah cukup setelah selama ini dia merasakan..." Max berhenti melanjutkan perkataannya.
Zia mengernyit dan bertanya, "Merasakan apa?"
"Bukan apa-apa."
Max menatap Zia dengan tatapan lelah. Ia tahu kalau Zia merasa simpati pada masalah yang sedang dihadapi oleh Lidya, hanya saja ia tidak bisa begitu saja membantu wanita itu. Tidak ketika ia tahu hal itu dapat menyakiti Ewan. Tidak ketika hal ini bisa saja membuat hubungannya dengan Ewan terancam tapi menyadari istrinya tengah menatapnya dengan pandangan memohon juga melukainya.
Dalam kondisi yang biasa, mungkin Ewan akan membantu. Hanya saja jika ini sudah menyangkut ke pekerjaan dan kehidupan pribadi, pria itu tidak akan melakukannya. Neraka akan membeku dan para malaikat jatuh akan berubah lagi menjadi penghuni surga kalau Ewan sampai melakukannya.
Kalau Max memutuskan untuk membantunya, setidaknya ia harus tahu kalau Lidya tidak ada hubungannya dengan masa lalu Ewan.
Dengan gerakan intimidasi Max mendekati Lidya, mengunci wanita itu di sofa sementara ia menunduk, merentangkan tangan di kedua sisi tubuh wanita itu lalu bertanya, "Katakan yang sebenarnya padaku, apa kau mengenal Ewan Wellington? Jawab dengan menatap mataku, Ms. Prescott."
"Aku tidak mengerti--"
"Lakukan saja!"
Lidya menatap ke mata Max, ia dapat merasakan ketegangan yang menguak keluar dari seluruh tubuh pria itu. Ia mengepalkan tangan di atas pangkuannya, menolak untuk merasa diintimidasi. Cukup kakeknya saja yang berani melakukan hal itu kepadanya, ia tidak akan membiarkan satu orangpun melakukan hal itu kepadanya.
Jadi Lidya mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan berkata, "Aku sama sekali tidak mengenal Ewan Wellington."
"Sama sekali?"
"Sama sekali."
Lalu Max bangkit dan menghembuskan nafas leganya. "Baiklah. Karena istriku tampaknya sangat simpati dengan masalahmu. Aku akan mencoba membantumu."
"Benarkah? Jadi--"
Lidya bangkit dari sofa dan hendak mendekati Max namun pria itu sudah mengangkat sebelah tangannya dan berkata, "Tapi tidak hari ini. Biarkan aku memikirkan bagaimana caranya mengatakan hal ini kepada Ewan karena dia tidak seperti yang kau pikirkan."
"Aku akan memberikan apapun yang bisa kuberikan asalkan--"
"Termasuk nyawa kakakmu?" Tanya Max dingin.
Pertanyaan itu membuat Lidya terdiam. Sementara Max tersenyum kecil seraya mengendikkan bahunya. "Aku hanya bercanda. Karena Ewan Wellington yang kukenal sekarang bukanlah pria yang haus darah, tapi dia juga bukan pria yang jinak."
"Jadi seperti apakah Ewan Wellington itu?" Tanya Lidya pelan.
Zia memeluk Lidya dan menepuk pundaknya lembut, "Ewan mungkin adalah seorang pria yang hidup dengan mencicipi wanita, tapi dia termasuk pria yang lembut. Aku berani memberikan jaminan kepadamu, asalkan kau tidak terpikat padanya. Dia sama sekali tidak menyukai wanita... hem, yang terlalu pintar sepertimu."
Pernyataan itu membuat Lidya mengernyit tidak mengerti. Zia terkekeh dan berkata, "Dia menyukai wanita bodoh yang tidak pirang."
"Wanita bodoh?"
"Yang mampu membuatnya bergairah."
Lidya tersenyum lebar dan mengelus dadanya seolah bersyukur bahwa dirinya pirang. "Setidaknya aku pirang, jadi aku tahu kalau Mr. Wellington tidak akan pernah tertarik padaku. Dan aku juga tidak akan tertarik dengannya seperti yang kau beritahu Mrs. Russell."
Berbeda dengan Zia yang gembira, sebaliknya Max merasa ia tidak ingin melakukan hal ini. Bukan karena ia tidak merasa kasihan dengan Lidya Prescott tapi karena ia tahu hal ini tidak akan menjadi hal yang baik.
Dan karena Max juga tahu kalau Ewan telah meninggalkan masa lalunya. Sahabatnya itu telah menjadi pria sukses yang tidak akan melihat ke belakang. Tapi bukankah kalau ia memang yakin Ewan telah meninggalkan masa lalu, Max akan dengan mudah menyetujui keinginan istrinya untuk membantu Lidya. Nyatanya Max masih belum tahu... ia tidak tahu apakah ia benar-benar telah melakukan hal yang benar atau tidak.
TBC | 03 June 2017
Repost | 02 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...