Lidya menyentuh tangan Harletta yang terasa kering di kulitnya, mengusapnya lembut. "Apa kau akan marah padaku kalau aku menginginkan kematian ayah?" bisik Lidya pelan, tatapannya terarah pada mata Harletta yang terpejam. "Apa kau akan marah kalau aku tidak bisa memaafkannya, Har?"
"Dia melukaimu..." Lidya membiarkan air matanya menetes pada punggung tangan Harletta, ia membiarkan tatapannya yang mulai mengabur. "...Dia melukai Lucas..." Kemudian Lidya memaksakan sebuah senyum di bibirnya, "Sekarang puteraku memiliki nama, Har. Nama yang belum sempat kuberikan kepadanya. Kau tahu siapa yang memberikannya?"
Ketika tidak ada jawaban, Lidya menjawab untuk dirinya sendiri. "Marshall... memberikan nama untuk anak kami. Lucas...Bukankah nama itu terlihat sangat bagus?"
"Aku berusaha kuat, Har, karena kau janji akan terus berada di sampingku. Kau berjanji untuk terus memelukku ketika aku mengeluarkan air mataku." Lidya menarik nafas panjang. "Apa kau tahu, Har? Kalau aku jatuh cinta kepada Marshall karena dirimu..." Lidya mencengkram erat tangan Harletta sambil menahan isak tangisnya. "Karena Marshall pernah berkata, 'Kalau memang Harletta sepenting itu bagimu, kau harus menjaganya, karena itulah aku jatuh cinta padamu.' Bukankah ini aneh, ketika aku jatuh cinta kepada seseorang yang mengatakan hal yang sama dengan kakakku sendiri?"
Lidya mengaitkan jemari kelingking mereka dan mulai berkata pelan, "Kita pernah berjanji bukan? Bahwa kita akan terus bersama selamanya, sampai maut memisahkan kita Har. Karena kau adalah saudaraku, karena walaupun kita memiliki darah yang berbeda, hati kita tetap satu keluarga."
"Karena itu jangan menyerah Harlie, atau aku akan sangat membencimu. Kalaupun Dewa Kematian tengah berada disampingmu, kau harus bisa mengusirnya," bisik Lidya. Ia memajukan tubuhnya dan mengecup pelipis Harletta, "Aku menyayangimu Har..."
⃰
Ewan berjalan di lorong dengan amarah menyala yang sulit dipadamkan. Ia tahu kalau selama ini ayahnya selalu bersikap seolah-olah keberadaan dirinya adalah sebuah kesalahan dan Ewan sudah tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, tapi mendapati kenyataan bahwa ia mengerti perasaan yang dirasakan oleh ayahnya membuat rasa tidak nyaman yang begitu besar di hatinya.
Iya, Ewan tahu bagaimana perasaan pria tua itu.
Ia begitu hafal bagaimana ia marah hanya karena Lidya bertegur sapa dengan teman lama, Ewan begitu marah ketika pertama kali melihat Jason memeluk Lidya walaupun ia tahu saat itu Jason telah memiliki istri. Kenyataan itu seolah menguap ketika hal itu bersangkutan dengan Lidya. Iya... Ewan tahu semua perasaan itu.
Dan itulah masalahnya sekarang.
Ewan tidak mau tahu perasaan pria tua itu. Ia ingin menganggap bahwa pria tua itu berhk mendapatkan semua ini. Tapi Ewan tidak bisa melakukannya, alih-alih membenci pria itu, Ewan malah merasa kasihan.
Ketika langkahnya berhenti di depan pintu rawat Harletta, Ewan menarik nafas dan membuangnya. Ia melakukannya berulang kali hingga merasa bisa mengontrol seluruh emosinya, hingga mendadak Samuel muncul di belakangnya dan berkata, "Ewan kita harus bicara."
Ewan mengernyit dan membalikkan tubuhnya.
"Tentang?" Tanya Ewan.
"William menyuruh kau berangkat malam ini juga ke London, karena dia sudah membuat janji dengan Bryan Crawford, kata William setidaknya Bryan memiliki sesuatu yang bisa membuatmu bernafas lega."
"Aku membutuhkan alat kedokteran yang canggih Sam." Ewan mengatakannya dengan sangat tegas sambil mendengus kasar. "Aku sudah lelah menunggu Harletta sadar, dan aku sudah tidak mau melihat Lidya menangis. Jadi kalau Bryan Crawford memiliki hal yang kubutuhkan, maka aku akan langsung terbang ke London sekarang juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...