His Temptress | 82

140K 11.8K 698
                                    

            Lidya menemukan Ewan berbaring di atas sofa ruang depan yang biasanya digunakan untuk pengawas yang berjaga, namun kali ini Lidya tidak menemukan siapapun di sana—kecuali Ewan. Perlahan ia berjalan menuju salah satu lemari dan mengambil selimut tebal sebelum berjalan kembali kearah Ewan.

Pria itu tengah tertidur dengan lelapnya, begitulah asumsi Lidya. Karena nafas pria itu begitu teratur. Tanpa sadar, jemari Lidya terarah kedepan, mengelus lengan Ewan yang hangat dan sedikit dingin karena udara malam. Dan air matanya mengalir begitu saja...

"Aku menunggumu." Lidya menarik nafasnya sementara tangannya mulai meremas lengan Ewan, "Aku terus menunggumu selama tiga hari ini. Kau telat sehari... kau bahkan tidak menghubungiku sama sekali. Kau bahkan..." Lidya menarik nafasnya sekali lagi sebelum melanjutkan ucapannya. "...kau bahkan tidak mengangkat panggilan yang kulakukan."

"I was terrified, Marshall. Thinking that something might happen to you ... made me almost suicide. Surrendering to my father or living without you are the two things that torture me. Don't you get it?" Lidya menarik nafas, benaknya mulai berpikir bahwa ia harusnya senang. Namun ia tidak dapat melakukannya. Ia masih marah sekaligus merasa lega, namun senang... belum ada di dalam ingatannya. "I don't need that fucking Potato than you, stupid!"

"I did not know before, but now I already know it."

Ucapan dengan suara bass, menggema dan selalu mampu menghancurkan dinding pertahanannya berasal dari pria di hadapannya. Seharusnya Lidya masih berpura-pura marah, harusnya ia pergi ke kamarnya dan kembali mengunci kamarnya kembali. Tapi ia tidak mungkin bisa melakukan hal itu ketika pria itu mengulurkan tangan kearahnya dan dengan lembut menghapus air matanya dengan jemari pria itu.

Tidak ketika pria itu menarik tangannya dan mengecupnya dengan mata hijau yang masih menatapnya. "Aku tidak meminta maaf untuk kesalahan yang sudah kulakukan, Agapi Mou." Ewan mengecup buku-buku jemari Lidya, membiarkan bibirnya lebih lama di sana sebelum berkata, "Tapi aku minta maaf karena sudah membuatmu khawatir. Aku minta maaf karena telah menjadi pria tidak peka dan..."

Ewan menarik tangan Lidya hingga wanita itu terjatuh di atas tubuhnya, melingkarkan tangan di pinggang wanita itu dan merapatkan tubuh mereka. Ia mengecup pipi Lidya di mana air matanya mengalir, "...aku juga minta maaf karena telah membuatmu menangis."

"Tapi aku bahagia, you know?" Ewan tersenyum sementara tangannya menyingkirkan rambut halus yang bermain di kening Lidya. Dan ketika pria itu terkekeh kecil, Lidya mengangkat alisnya tinggi-tinggi seolah menunggu penjelasan pria itu. "Karena kau marah."

"Karena aku—what?!"

"Karena kau marah dan aku bahagia karena itu," ucap Ewan sambil menggigit kecil puncak hidung Lidya dan tersenyum lebar. "Aku bahagia melihatmu marah karena mengkhawatirkanku. Jadi sebenarnya hukuman ini atau hukuman apapun yang hendak kau berikan kepadaku, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka."

Ewan sudah gila!

Lidya ingin marah karena pria itu berkata bahagia karena amarahnya. Tapi di saat yang bersamaan, Lidya tidak mampu mengucapkan satu protes apapun kepada pria itu. Dan kalian bisa lihat, bagaimana bisa kalian marah dengan pria yang mengelus kalian dengan begitu lembut seolah-olah kau adalah barang pecah? Bagaimana bisa kalian marah ketika pria itu tersenyum seolah mengungkapkan kebahagiaannya?

Yang pasti Lidya tidak bisa melakukannya.

Tanpa berpikir lagi, Lidya melingkarkan kedua tangannya ke leher Ewan, memeluk pria itu erat dan membiarkan kedua kakinya berada di atas pangkuan pria itu. Lalu Lidya mendengar alunan musik terbaik di dunia—tawa Marshall.

His TemptressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang