"Yes, Marshall. I'll stay..."
Lidya bangun dari tempat tidur, meraba sisi lain disampingnya. Ia membuka mata dengan cepat ketika tidak mendapati Marshall disampingnya. Ruangan dikamarnya terasa sunyi, dan hal itu membuat hatinya takut. Bukankah ia sudah mengatakan kemarin sore, kalau Lidya memilih untuk tinggal di sisi pria itu?
Dan Marshall, kalau memang Ewan menjadi Marshall-nya, pria itu tidak akan meninggalkannya tanpa menunggunya bangun.
Lidya menyandarkan punggungnya, merapatkan tubuhnya kedalam selimut seraya menelungkupkan kepalanya. Mimpi atau tidak? Lidya tidak berani menjawabnya, perlahan ia bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi.
Ketika ia melihat pantulan dirinya di depan cermin, ia tersenyum kecil, karena Lidya menyadari bahwa semua ini bukan mimpi. Marshall memang ada disampingnya, jemarinya mengelus bekas kemerahan di sekitar dada, perut dan lehernya akibat dari percintaan mereka semalam. Ia tersenyum semakin lebar, tangannya memeluk dirinya sendiri. Dan saat Lidya memejamkan matanya, ia bisa merasakan aroma Marshall diseluruh tubuhnya. "Your world is in my arms. Don't forget it, Agapi Mou."
"Yes, Marshall... I wouldn't forget..." bisik Lidya pelan.
°
Satu jam kemudian, Lidya keluar dari kamar mandi. Ia baru saja menyelesaikan sesi bersih-bersihnya lalu berjalan ke ruang tengah. Hari ini senyumnya terus mengembang dan Lidya bahkan tidak tahu bagaimana caranya menghentikan senyuman konyol ini. Ia seperti kembali ke masa remaja dan ini seharusnya memalukan, tapi Lidya tidak peduli. Untuk saat ini, ia tidak mau memperdulikan apapun.
Ketika Lidya membuka jendela di balkon, mendadak ia mendengar suara bel pintu. Dengan cepat ia langsung berlari kearah pintu dan membukanya dengan cepat. "Mar-" ucapannya terhenti saat menyadari bahwa ia sama sekali tidak mengenal tamunya. Ia tersenyum canggung, "Anda mencari siapa?" tanya Lidya pelan.
"Selamat pagi, miss. Saya dari Madam Florist." Petugas tersebut tersenyum lebar, lalu menyerahkan sebuah buket bunga kepadanya. "Ini untuk anda." Sebelum Lidya sempat merespon apapun, petugas tersebut mengangkat topinya, menunduk sopan dan berkata, "Have a good day, miss."
Lidya menutup pintu pelan dengan buket besar ditangan.
Buket bunga tersebut terlihat begitu cantik, terdiri bunga tulip yang beraneka ragam. Ia memeluk buket bunga tersebut dan menghirup aroma segar yang menguap keluar dari buket tersebut. Lidya menatap sebuah kartu yang terselip di salah satu sela tangkai tulip, ia mengambil kartu tersebut dan membukanya sambil berjalan kembali keruang tengah.
"Yey or nay for this Tulip?"
Lalu Lidya menyadari kalau kartu tersebut memiliki lanjutan dibaliknya. Ia membuka kartu kedua dan melihat isinya. "Nay? Dasar kau wanita pemilih yang keras kepala. Sangat sulit untuk membuatmu senang dengan cara yang biasa, iya kan?"
Lidya tertawa ketika melihat tulisan tangan Marshall, dan melanjutkan kartu terakhir. "Untied the string of this bouquet."
Perlahan Lidya meraba tali yang mengikat buket tulip menjadi satu, dan menariknya pelan. Di saat yang bersamaan angin laut masuk kedalam ruangan melalui jendela ruang depan yang tadi didepan oleh Lidya, tanpa permisi menerpa ruangan tersebut. Langsung saja setelah Lidya menarik tali sesuai yang diperintahkan Marshall, batang-batang tulip bertebaran di seluruh ruangan bagaikan badai tulip di musim gugur yang terlihat begitu indah.
Dan tatapannya tertuju pada sisa buket yang masih berada ditangannya. Buket yang asli sengaja ditutup oleh ratusan tulip yang kini telah menyebar di seluruh ruang depan mansion. Dan buket yang berada ditangannya sekarang bukanlah buket tulip elegan yang dilihatnya tadi, melainkan...baby breath dan lavender. Jantung Lidya berdetak dengan cepat, hatinya seolah berteriak.
Lidya mengambil sebuah kartu yang diselip pada tangkai buket tersebut dan membacanya. Kali ini air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya, dan ia terisak. Kalimat di kartu tersebut seolah menyatukan ratusan puzzle yang tidak sempurna di hatinya, hingga menjadi satu susunan puzzle yang sempurna.
"Some people say, roses are something that women love very much. And roses are symbols of a relationship and feeling. But we are not roses, nor tulips. But we are the mixture of baby breath and lavender. Its mean..." (Beberapa orang bilang, mawar adalah sesuatu yang sangat disukai oleh wanita, dan mawar adalah symbol dari hubungan dan perasaan. Tapi kita bukan mawar, dan kita juga bukan tulip. Tapi kita adalah gabungan dari baby breath dan lavender. Itu artinya...)
Second trust, hopes that had been lost and a story that never faded." (Kepercayaan kedua, harapan yang pernah hilang dan sebuah cerita yang tidak pernah pudar.) P.S : Maaf aku meninggalkanmu sebelum kau membuka mata, aku memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Miss me already?
Tubuh Lidya merosot, ia memeluk buket kecil tersebut, dan menangis dengan keras di ruang depan. Ya Tuhan... Marshall-nya sudah kembali. Marshall-nya yang lama sudah kembali. Dunia-nya kembali padanya, dan hal itu yang membuatnya terisak dengan sangat pedih namun Lidya juga bersyukur disaat bersamaan.
Lidya memimpikan ini setiap malam, ia memimpikan sebuah waktu. Waktu untuk mengembalikan dunia-nya, waktu untuk membawanya kembali ke masa lalu, dan waktu di mana ia bisa bertemu kembali dengan Marshall-nya.
Perlahan Lidya berbisik pelan masih dalam keadaan memejamkan matanya. "Har, dia kembali padaku. Marshall kembali dan aku tidak ingin kehilangannya lagi."
"I love him and I can't replace him with anything in this world." Lidya menelan saliva-nya, menahan isaknya dan berkata lirih, "Dia adalah dunia yang aku miliki, Har."
Satu-satunya tempat untuknya pulang. Rumah-nya... dan masa depannya.
°
TBC | 9 Agustus 2017
Repost | 17 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...