Memuakkan...
Memuakkan...
Ewan mengulangi kata-kata itu di dalam kepalanya, agar ia ingat dimana ia harus bertindak dan bagaimana ia harus bersikap. Iya, memuakkan. Kata-kata kasar itu terasa ngilu di ujung pangkal lidahnya. Dan ucapan itu bagaikan mantera bodoh untuk terus melanjutkan drama bodoh ini, lagi dan lagi.
Katakan saja ia bodoh, tapi dalam lima tahun ini, Ewan tidak bisa berhenti untuk sekadar datang ke kedai kopi yang jelas-jelas membuatnya sakit, yang jelas-jelas membuatnya terus teringat bagaimana perasaannya yang sudah dihancurkan. Tapi ia tetap datang, pertanyaannya kenapa?
Karena... hanya ditempat itu saja yang terlihat sempurna untuk paginya.
Pemikiran itu membuat Ewan menghentikan langkahnya. Iya, selama lima tahun ini ada alasan mengapa ia memilih untuk tidak menetap, mengapa ia memilih tempat ramai alih-alih menggunakan propertinya yang tersebar hampir diseluruh dunia. Ia memilih tempat Max, Gabe ataupun Aram.
Kenapa?
Ketika pertanyaan bodoh itu kembali mengalun dibenaknya, tangan Ewan terkepal disisi tubuhnya. Itu adalah pertanyaan bodoh, semuanya karena...karena di tempat sesempurna apapun, sesepi apapun, senyaman apapun... dia tidak ada.
Iya... dia tidak ada, dan itu adalah bagian terburuk yang harus dijalaninya.
Dia tidak ada...
Belum selesai Ewan menata hatinya agar menjadi Ewan yang biasa, mendadak seseorang menabraknya dengan sangat keras hingga tubuh Ewan menabrak mobil yang terparkir di pinggir jalan. "Apa kau tidak punya mata?!" Teriak orang itu dengan sangat keras.
Ewan tidak bergerak untuk sesaat.
"Dasar buta! Kalau tidak punya mata lebih baik kau berdiam saja di dalam rumah!" teriak pria itu sekali lagi, kali ini dengan mata melotot marah.
Lalu Ewan menegakkan tubuhnya, perlahan memutar tubuhnya dan menatap dingin kearah pria yang baru saja berteriak. Langsung saja pria itu terkejut dan membelalakkan matanya. "E-Ewan Wellington..." bisiknya pelan yang sepertinya pria itu tahu kalau lawan yang ada di hadapannya bukanlah lawan yang biasa dihadapinya.
"Ma-maaf, aku tidak tahu kalau—"
Pria itu bahkan belum selesai mengucapkan kalimatnya, Ewan langsung saja melayangkan kepalan tangannya ke arah hidung pria itu. Satu pukulan Straight disusul dengan Jab dari bawah, Ewan mengulanginya berulang kali hingga ia tidak sadar kalau pria di hadapannya sudah berdarah. Namun ia tampak tidak peduli.
Ewan mengangkat pria itu dengan mudah dan menghantamkannya keatas kap mobil yang ada disampingnya. Lalu berkata dengan nada yang sangat dingin,"Jangan pernah berbicara dengan menatap mataku, lain kali kau lakukan itu... I'll kill you."
Ia sudah mengangkat sebelah tangannya untuk memukul pria itu lagi dan ditahan oleh seseorang dari belakangnya. "Lepaskan, Gabriel." Ewan mengucapkannya dengan nada sangat dingin, yang berarti ia sedang memendam kemarahan yang luar biasa.
"Dia bisa mati, Ewan."
"Itu bukan urusanmu..." ucap Ewan dingin, ia masih berusaha menarik tangannya namun Gabe menahannya dengan setengah kekuatannya. "Lepaskan aku, Gabriel."
"Lepaskan pria malang itu, Ewan."
Ewan melepaskannya dan pria itu tersungkur dengan wajah babak belur, sementara beberapa pengunjung yang lalu lalang terlihat ketakutan, ada juga yang bergegas tanpa menoleh kearahnya sama sekali. Namun tatapan Ewan sama sekali tidak berubah, mata hijaunya terlihat berkabut dan tidak dapat dibaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Temptress
Romance#4 in romance 130817 #1 in Love 100518 "Your heart, Skin, Breath, Blood, even your tears is mine. Don't ever think to give to somebody else." Ewan Marshall Wellington. Bagi Ewan kebodohan dan kesalahan hanya dilakukan sekali, karena itu saat l...