02 Bagian Dua

324 24 0
                                    

"Apa yang kau bawa?" tanya lelaki besar bertato harimau naga. Tampak kekar dan menyeramkan dengan gambar dua binatang buas bersinggungan dari jari hingga ke lehernya.

Mereka yang mengenal memanggilnya Tuan Jaka. Pemimpin besar kelompok preman di ibu kota, Jakarta.

"Mainanku, kenapa? Kau menginginkannya juga?"

Anton, bawahan utama kepercayaan Tuan Jaka. Menyeret seorang gadis kecil berkerudung pink. Tampak kusut dan putus asa, Ifa.

"Bwahahahaha! Ya, tentu. Berikan padaku. Sepertinya akan cukup menyenangkan."

Tangan kasar itu menarik paksa lengan mungil yang terkulai tak berdaya.

Si mungil tak menjerit, tak juga menangis atau bergetar karena ketakutan. Itu yang membuat Tuan Jaka merasa tertarik pada gadis kecil yang disebut mainan baru oleh bawahan kepercayaannya.

"Hai gadis kecil, kenapa kau tidak menangis? Menangislah! Aku ingin mendengar nyanyianmu."

Tuan Jaka berbicara sembari tertawa. Tawa memekak dan menyiksa.

Namun, sayang, apa yang ia bicarakan tak berpengaruh banyak pada Ifa. Gadis itu hanya menatap kosong sepasang mata elang pria besar, dengan bekas luka di alis kirinya.

"Kau! Bawakan aku cambuk kesayanganku!" perintah Tuan Jaka geram pada Joni: bawahan lainnya yang selalu mengikuti ke mana pun Tuan Jaka pergi.

"Baik, Tuan." Joni berlalu dan kembali dengan cambuk menyeramkan di genggaman.

Tanpa babibu, Tuan Jaka mengambilnya dengan santai.

Dan ....

Bukk... bukk... bukk.....

Tiga cambukan mengenai punggung gadis mungil. Berhasil membuat Ifa meringkuk, memeluk lutut di bawah kegilaan Tuan Jaka.

Namun, Ifa tetap dalam diam, tenggelam dalam bayangan di mana adegan tadi pagi berulang di kepalanya.

Ia yang bahagia dengan niatnya menuju odong-odong, ditemani teriakan sang ibu tentang kehati-hatian.

Saat dia mencapai tujuan dan berbalik untuk melihat sang ibu, apa yang tampak adalah ketika sebuah truk kuning menghantam keras tubuh penuh kasih itu.

Malang, saat Ifa hendak menjangkau sosok terkasihnya, sebuah tangan menutup mulut dan mengangkat tubuhnya. Membawa dia pergi jauh dari apa yang ingin sekali ia lakukan.

Tak lama kemudian, hanya kegelapan yang menyambut, sebelum sebuah tangan besar kembali menyentak. Menyadarkan pada pandangan bahwa ia kini berada di ruangan yang entah di mana.

Darah perlahan merembes memaksa masuk. Menyadarkan Ifa bahwa ia seharusnya menangis, tetapi memangnya apa? Apa yang bisa ia dapat dengan menangis?

Tess ... satu tetes air mata lolos dari kelopak mata kecil. Namun, tak ada satu pun suara yang mengiringi.

Allaahh ... Ibu bilang Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Ipa hanya ingin tahu, apa Ibu baik-baik saja? Tolong jawab, Ya Allaah ....

Hanya itu. Terucap lemah dalam tunduknya.

Sementara Tuan Jaka, lelaki gagah kumal itu semakin gila. Mengaliri bekas luka tertoreh dengan air garam.

Perih, pedih, dan amatlah menyakitkan.

Ifa tak tahan. Ia pun tertidur, dijemput bayang gelapnya mata terpejam. Tak berbentuk, juga tak berupa.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang