Bagian 26

126 17 0
                                    

Pagi menyapa setiap insan yang hendak beraktifitas, matahari seperti biasa ceria dengan sinarnya.
Pagi adalah suasana yang paling menyehatkan, tapi itu tidak berlaku di kota yang terkenal akan macetnya ini.

Ifa tersenyum, hari ini adalah harinya keluar dari bangunan bercat serba putih ini. Ifa memutuskan ia akan menjelajahi kota Jakarta dan mencari paman Anton.
'Paman, apa kau juga merindukanku?'
Ifa menatap lurus kearah jendela yang menampilkan suasana pagi yang bising tidak seperti di tempat sebelumnya ia tinggal.
Oh ayolah Ifa,
Kau membandingkan hutan lebat dengan ibu kota Indonesia?
Yang benar saja.

Ifa bangkit ia lalu meraih ransel dan tas jinjingnya. Kak Lilis bilang semua biaya rumah sakit sudah diselesaikan uni Ella. Jadi Ifa bisa langsung pergi tanpa perlu mendatangi meja kasir Rumah Sakit tempatnya dirawat selama hampir satu bulan. Dan selama hampir satu bulan itu pula tak ada seorangpun yang datang menjenguknya.
.
.
.
"Sudah tiga tahun, tapi kota ini tidak mengalami banyak perubahan."
Ifa menghela nafas panjang, penjelajahannya akan sedikit mengesalkan.
Ini masih jam 6 pagi tapi jalanan sudah dipenuhi berbagai jenis kendaraan.

Ifa lalu memutuskan untuk sarapan di sebuah kedai sederhana, Bubur Ayam Cianjur itu yang tertulis di spanduknya.

"Bu, buburnya satu ya ..?"
"Ah ya neng, mangga .. mangga .. duduk dulu aja ya neng ..?"
"Tapi jangan pake penyedap rasa ya bu .. "
"Loh, nanti gak enak neng buburnya?"
Ifa tersenyum, ini adalah kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang. Mereka meremehkan efek dari penyedap rasa. Mereka melupakan jika penyedap rasa kekuatannya bisa sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari garam biasa saat memasuki pencernaan.
Penyedap rasa yang dicampuri bahan kimia mampu menggores usus, melukai lambung dan bahkan bisa menerobos masuk ke otak dan mengacaukan sistemnya.

Sekarang katakan, apa Ifa harus memakan makanan seperti itu?
Bukankah Allah akan melaknat hambaNya yang sengaja menganiaya diri sendiri?

"Tidak apa-apa, ibu .. saya lebih suka makanan yang tidak enak dari pada makanan yang mengganggu kesehatan saya dimasa depan nanti."
Ifa mengakhiri perkataannya dengan tersenyum sopan berharap kata-katanya tidak menyinggung penjual bubur ini.
"Hoalaahhh neng ... kecil-kecil meuni udah piter aja ... jarang-jarang ada anak kecil yang begitu jeli masalah makanan kayak eneng. Boro-boro anak kecil orang dewasa juga gak ada, neng. Sok atuh mangga ... mangga ... duduk dulu ya ...?"
Ibu penjual bubur berbicara dengan suara nyaring dan jelas membuat enam orang yang juga sarapan bubur ditempatnya melirik kearahnya dan kearah Ifa.

Ifa tersenyum dan mengangguk merasa bersyukur ibu penjual bubur tidak merasa tersinggung dengan ucapannya. Dan seperti nama kedai bubur, Cianjur, penjualnyapun sepertinya asli sunda.

Ifa lalu berjalan kearah meja yang memanjang dan menarik satu kursi sebelum ia mendudukinya. Ifa memutar matanya dan menemukan sudah ada 6 orang lainnya yang juga sarapan disini. Mereka terlihat menatap lekat kearah Ifa. Mungkin mereka mendengar obrolannya dengan ibu penjual bubur dan merasa tersinggung.
Tapi Ifa tak peduli, sekalipun mereka merasa tersinggung Ifa tidak merasa bersalah. Dia juga tidak berniat menggurui mereka. Toh, perkataannya juga tidak ada yang salah.
Benar kan?

"Ini neng bubur dan minumnya."
"Makasih bu ... " Ifa tersenyum ramah dan dibalas dengan anggukan ramah ibu pembuat dan pengantar bubur.

Ibunya berdagang sendirian, itu kesimpulan Ifa saat tidak menemukan ada karyawan lain di kedai sederhana ini.

Ifa meminum air teh hangat yang disediakan berdampingan dengan bubur. Ifa terbiasa minum dulu sebelum makan. Seharusnya ia kerjakan 1 jam sebelum makan agar tubuhnya bisa meyesuaikan diri dengan makanan yang akan masuk kemudian.
'Tak apalah, sekali-kali.'
Pikirnya sebelum menyantap bubur ayam yang terlihat menggiurkan dihadapannya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang