Bagian 66

92 10 0
                                    

Hari telah kembali. Di rebun, Ifa sudah duduk nyaman dalam burung besi di atas ke tinggian. Dengan setelan backpacker syar'i, Ifa memejamkan mata.

Ia lalu tersenyum. Saat mengingat detik-detik sebelum keberangkatan.

___

"Fa, kamu yakin akan ke Pakistan?"

Hanya itu. hanya pertanyaan itu yang sejak kemarin diulang terus oleh ayah tercinta.

"Ayah, aku sendiri yang meminta agar pertukaran pelajar yang diberikan padaku dilakukan dengan negara Pakistan." Dan hanya jawaban itu juga yang sejak kemarin Ifa jadikan sebagai gagasan pokok dari jawabannya.

Setelah khutbah ayah di kantor Kak Rizki selesai, ayah menarik semua hasil saham milik Ifa di bulan ini. Dan mengirimnya pada akun tabungan milik Ifa.

Ifa sudah tidak berdaya lagi untuk protes dan akhirnya hanya bisa pasrah menerima titah sang raja.

"Ayah, aku harus pergi sekarang." Ifa melirik jam dinding. "Tinggal setengah jam lagi pesawatku berangkat."

"Baiklah," jawab ayah pasrah.

Ifa tersenyum. Akhirnya tingkah aneh ayah akan berakhir juga.

"Pergilah, Om Dani sudah ada di depan," tambahnya.

(Iya, sudah sejak tiga jam yang lalu, ucap author di atas awan)

"Apa ayah tidak akan mengantarku?" Ifa bangkit, memperbaiki posisi ransel dan meraih koper yang sejak tadi menjadi saksi bisu tingkah ayah.

"Tidak akan," rajuk ayah dengan memalingkan wajah dari Ifa.

"Hanya satu semester, ayah." Ifa menatap sendu laki-laki paruh baya yang duduk agung di hadapannya.

"Satu semester itu enam bulan," paparnya tanpa menatap lawan bicara.

"Ayah tidak ingin aku pergi?"

Laki-laki paruh baya yang masih berpakaian seragam tidur itu menatap Ifa. "Ayah ingin menantu yang bisa mendampingimu ke mana pun kamu pergi." Ayah menjeda. "Agar ayah bisa yakin, kalau putri ayah tidak sendirian."

Ifa tersenyum dan menghampiri ayah lalu meraih tangan kanannya. "Aku tidak pernah sendiri, ayah. Ada Allah."

"Jaga diri baik-baik." Ayah menepuk lengan yang terpaut dalam genggamannya.

"Aku akan baik-baik saja." Ifa memeluk ayah dan mengecup keningnya. Sama seperti yang ayah biasa lakukan padanya.

"Aku pergi." Ifa pamit dengan meninggalkan senyum termanisnya.

***

"Do you want water, Miss? (apa anda ingin minum, Nona?"

Ifa membuka kelopak matanya. "Thank you (terimakasih)." Ifa menerima uluran gelas bening berisi mineral dari seorang pramugari.

"You're welcome (sama-sama)." Pramugari dengan kerudung putih itu kembali mendorong meja beroda yang di atasnya terdapat enam gelas air bening.

Ifa melirik jendela yang menampilkan lautan awan. Ia tersenyum lalu meletakkan gelas di sisi kanan dan mengeluarkan catatan hitam kecil yang ia selipkan dalam saku jaketnya.

Langit, 05 Muharram

Dulu aku pernah bermimpi

Terbang dan berlari di atas awan

Dulu aku pernah berharap

Memeluk rembulan dan terlelap dengan menatapnya dekat

Dan kini,

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang