Bagian 61

87 11 0
                                    



“Dia sudah mencabut gugatannya sejak satu tahun yang lalu. Namun pengadilan baru bisa mengambil keputusan hari minggu kemarin,” terang Om Dani.

Setelah mendapat pesan dari Om Dani perihal kebebasan ayahnya, Ifa memutuskan untuk langsung terbang ke Indonesia dengan ditemani tentara menyebalkan, si Dodol Dirga.

“Minumlah dulu,” tawar Om Dani saat asisten rumah menyuguhkan tiga gelas teh hangat. Sangat cocok untuk dinikmati di waktu sore seperti ini.

Ifa mengangkat satu cawan dan meminum isinya perlahan, mencoba menyesapi setiap kenikmatan yang Allah berikan.
‘Al-hamdu lillahi hamdan kasiran toyyiban mubarakan fii hi …, (segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, baik, lagi barakah)’ HR. Abu Daud At-Tayalisi.

Ifa menikmati teh dengan memandang damai pada berbagai jenis tanaman yang terawat di pekarangan rumah. Terutama semaraknya bunga-bunga yang riang mekar bersama.

Ifa ingat, ibu dulu sangat suka berkebun. Dan untuk menyalurkan rindu … ayah menanam berbagai tanaman yang disukai ibu di setiap penjuru pekarangan.

“Dan perlu Nona ketahui, selama satu tahun terakhir … Rian sangat sering menjenguk Tuan Ahmad.”

Ifa terperanjat. Disimpannya kembali cawan teh digenggaman.
“A … apa yang dia lakukan?” Perlahan sesuatu yang menyekat terasa menarik Ifa untuk kembali mengingat pada saat-saat ia menyaksikan sendiri senyum ikhlas terakhir dari pemuda urakan.

“Dia memohon ampun pada Tuan Ahmad untuk kesalahan yang telah diperbuat ayahnya dan bersumpah akan menebus segala kesalahan di masa lalu dengan cara … melindungi Nona.”

“Mengapa?” tanya Ifa mempertanyakan tindakan keponakan Paman Anton.

“Rian berharap … dia bisa menjadi syafa’at bagi ayahnya,” jawab Om Dani.

Ifa menunduk. Rian benar-benar menerapkan pemahaman agama pada kehidupannya.

“Dan …,” Om Dani tampak ragu.

“Apa lagi?” tuntut Ifa.

“Rian mengatakan mengagumi Nona. Dia bahkan berniat ingin mengkhitbah Nona dan menemani ke mana pun Nona ingin berjelajah.”

Rian …, apa maksudnya ini?

Ifa menghela napas. Tidak berhasil memahami jalan pikiran si jenius racun itu.

“Faa, mengapa aku merasa seperti sedang menonton film sinetron yang sering ditonton oleh ibu dan kakakku?”

Ohh, si menyebalkan itu mulai unjuk suara.

“Pengorbanan cinta seorang preman,” tukasnya bertingkah so’ melankolis.

“Bisakah kau tinggalkan kami berdua?” Ifa melempar tatapan mengusir.

“Tidak semudah itu, Merkuso. Aku harus menjagamu dari si berondong tua ini.” Dirga menunjuk Om Dani. Dan Om Dani menanggapi dengan mendelik tak terima.

“Nona Lathifa, boleh saya tahu, mengapa anda membawa kembali orang gila ini?” Kini balas Om Dani yang menunjuk Dirga.

Ya ampun. Ternyata pertemuan terakhir mereka dahulu menyisakan dendam di antara tentara muda dan orang kepercayaan ayah Ifa.

“Hah? Orang gila?! Dengar ini,…” Dirga menjeda ucapan, ia melipat tangan lalu mengambil posisi duduk seperti seseorang yang berkuasa, “Pak tua, saya bukannya ingin sombong. Tapi saya adalah Brigjen paling muda di TNI AD.”

Ifa melipat ke dua tangan di atas meja tamu lalu menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Tak kuasa bila harus menyaksikan ocehan Dirga yang menguras emosi dan keagungan Om Dani dalam mempertahankan harga diri.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang