Bagian 64

79 11 0
                                    

Riuh menyapa gendang telinga. Memecah hening menghardik tegang. Suasana benar-benar kacau hanya karena sekumpulan remaja yang salah arah.

“Maafkan, Dokter, maafkan kami.”
Kembali. Hanya kalimat itu yang berulang dari sosok berkemeja putih berlumur darah.

Ifa tak berdaya. Ia menarik napas dan menghembuskannya kasar.
‘Apa?’ apa yang bisa ia perbuat?

Ifa bangkit. Dilihatnya sekumpulan remaja SMA yang masih belum memberi tanda-tanda akan mengakhiri pertempuran konyol.

Gelisah jelas menjalar di rasa.

‘Allahuuu ….’

Tidak. Ia tak ingin merasa menyesal lagi karena tak berdaya.

Ifa memutar pandangan. Lalu netranya yang awas mengunci keberadaa alat pengeras suara di depan sebuah café.

Dan yang selanjutnya, sepasang kaki berbalut sepatu kets ia arahkan berlari menjangkau titik fokus.

Berjongkok. Gadis berkerudung abu itu memeriksa keadaan setiap komponen pengeras suara. Dan hasilnya, pengeras suara masih aktif dan bisa digunakan.

Ifa kembali berdiri. Ditatapnya setiap insan labil di hadapan yang sibuk saling melukai diri.

Menengadah. Ifa menatap langit biru yang ceria. Seolah memberi restu pada apa yang ingin ia perbuat.

Ifa menarik napas dan mendekatkan mikrofon ke mulutnya.

‘Ya hayyu ya qoyum bi rohmatika atstagis …. (wahai Zat Maha Hidup dan Zat yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan)’

Terpejam. Ifa menutup kelopak mata. Mencoba memberi ketenangan pada diri yang dilanda cemas.
“A’udzubillahi minasyatonirrojim.”

Jeda. Ifa menjeda sesaat. Mengantarkan diamnya pergerakan kota.

“Bismillahirrahmanirrahiim.”

Kota seakan ikut menyebut asma Allah. Tenang dan mulai mencari tahu asal suara.

“Ar rahmaan … ‘allamal qur aan … kholaqol insaan … ‘allamahul bayaan ….”

Burung entah dari mana datang mendekati kota. Burung gereja bertengger apik di pepohonan, Merpati turun mendekati pusat alunan nada paling sempurna.

“Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukazzibaan ….”

Maka nikmat tuhan manakah yang engkau dustakan?

Ayat yang Ifa lantunkan seolah mengoyak hati setiap pendengar. Mempertanyakan tindakan apa yang suudah mereka amalkan selama ini di bumi-Nya.

“Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukazzibaan ….”

Kembali. Hati seolah tersayat dosa.

Remaja tawuran benar-benar telah sempurna mematung merasa hina. Senjata salah terjatuh lumpuh begitu saja. Perlawanan konyol telah benar-benar berakhir.

Apa yang telah mereka perbuat?

Hanya kalimat itu yang berteriak meredam amarah dan keegoisan.

“Tabaarakasmu rabbikaziljalaali wal ikram ….”

Maha suci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.

Damai, nyaman, tenang dan bertasbih. Kota telah ikut larut meMaha Agung-kan asma-Nya.

Termasuk, polisi yang sudah ada sejak ayat ketujuh surat Ar Rahman dibaca gadis manis berkerudung lebar.

Enam laki-laki berseragam aparat negara tanpa menyadari ikut menunduk dan mengingat kembali bahwa identitas diri di muka bumi ini hanyalah sebagai seorang hamba.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang