03 Bagian Tiga

231 20 0
                                    

Ifa terbangun dari tidur panjangnya. Tak terasa. Hanya pening sebagai akhir mimpi buruk.

Saat dia mencoba untuk duduk, gadis itu merasakan rasa sakit luar biasa berasal dari punggung.

"Uhh ...," lenguh Ifa, menikmati luka dalam yang membeberkan daging merah mudanya.

Setiap gerakan yang dia lakukan, mengakibatkan air garam di permukaan kulit merasuk semakin dalam membelah pori-pori tak berdosa.

Perlahan Ifa merangkak, bangun, jatuh, tersungkur, dan tegak lagi.

Seperti itu saja.

Hingga ia mencapai tujuan.

Sebuah ruang kecil berukuran 3×3 meter persegi. Menyajikan satu keran menjurus pada ember hijau kumuh. Dengan cangkir merah kecil sebagai media pengambilan air.

Byurrrr.....

Dalam sekali gerakan, Ifa mengguyur habis tubuh rapuh. Seember air dingin, ia curahkan menyakiti lebih setiap inci daging terbuka.

Perih dan menyiksa, tapi Ifa suka.

Gadis kecil itu telah dewasa sebelum waktunya.

Dia masih anak-anak, tetapi lihatlah pemikirannya!

Oh, ujian benar-benar misteri dan selalu mengagumkan.

Setelah puas dengan air, Ifa beranjak keluar ruangan. Mencoba mencari sesuatu untuk bisa ia makan.

Dalam langkah tertatih, Ifa melihat sepotong roti diatas kursi didepannya.

Gadis mungil itu ingin sekali mengambil roti, tetapi di sana juga terdapat seorang anak laki-laki. Pemikirannya bermain. Anak laki-laki itu tampak lebih tua darinya.

Merasa diperhatikan, titik fokus si mungil menoleh. Mata hitam pekat lelaki di tepi lorong, bertemu dengan sepasang manik sendu yang dingin, milik Ifa.

Tak lama, pemilik netra pekat turun dari kursinya. Meraih sepotong roti yang sejak tadi Ifa pandang. Dia meletakkan roti tersebut di depan kaki, menendangnya menuju keberadaan Ifa. Kemudian berlalu.

Ifa terpaku beberapa saat. Lalu memutuskan untuk cepat-cepat mengambil roti. Kembali ke ruangannya sebelum tuannya yang gila datang lebih dulu.

Bisa bahaya jika hal itu benar-benar sampai terjadi. Dan benar saja! Di sana, si gila sudah siap dengan cambuknya.

Namun, ini lebih buruk dari sebelumnya. Karena ternyata di sana juga sudah ada anak laki-laki tadi, si pemberi roti dengan kaki.

Sesaat setelah Ifa menghabiskan roti, Ifa sempat berpikir anak laki-laki tersebut melakukannya karena takut bawahan Tuan Jaka melihat dia memberi Ifa makan.

Ifa bahkan sempat tersenyum penuh haru.

Tak!
Sebuah batu kecil terlempar apik mengenai kening kusam.
Ifa menoleh, menemukan Tuan Jaka tertawa sedang si anak laki-laki tersenyum sinis.

Duk!
Kali ini yang datang adalah batang penyanggah meja.
Tuan Jaka yang gila, kembali tertawa.

Buk!
Selanjutnya tubuh kecil yang baru terisi sepotong roti dan tiga teguk air keran, terlempar ke sudut ruangan. Akibat tendangan dahsyat dari anak laki-laki yang memandangnya sinis.

Lalu, Ifa?
Ah, dia sudah kembali terlelap. Diraup kegelapan. Dengan suara tawa Tuan Jaka sebagai pengantar.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang