Bagian enam belas

127 17 1
                                    

Ifa tengah membereskan alat medisnya. Besok pagi ia akan pulang ke kediamannya di tengah-tengah hutan pulau Sumatera yang terkenal tak berpenghuni itu.
Ifa rindu gubuknya, rindu tidur ditumpukan jerami yang ia modifikasi menjadi sangat nyaman dan menghangatkan. Ifa juga rindu mandi disungai, airnya bersih dan menenangkan.
Ahh ya, dan jangan lupakan dua binatang besar yang juga tinggal dikediamannya. Apakabar mereka? Apa si belang akan marah karena ia tinggalkan tanpa pamit? Hmm.. Ifa lebih percaya diri jika tentang si legam. Kuda hitam itu lebih tenang dan meyakinkan.

'Ohh tidak. Kuharap si belang tidak mengamuk dan menghancur gubuk ku,' Ifa menghela nafas ketakutannya ini sungguh berdasar. Si belang pernah mengamuk dan menghancurkan pekarangan bunga yang Ifa buat didepan gubuknya. Si belang mengamuk, mengeram dan memakan semua bunga yang tertanam. Awalnya Ifa tak paham alasan si belang mengamuk.
Berbekal ilmu psikolognya, Ifa mengambil kesimpulan, si belang cemburu pada tanaman yang ia hancurkan.

Ifa baru menyadari akhir-akhir ini Ifa memang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengurus bibit bunga yang Ifa temukan saat mandi di air terjun. Si belang baru berhenti mengamuk setelah berkelahi cukup hebat dengan Ifa. Emosi Ifa terpancing saat usahanya menenangkan si belang tak juga berhasil. Ifa putus asa lalu menendang perut si belang dan semuanya berlanjut dengan perkelahian gadis berusia sepuluh tahun dan seekor harimau besar yang tampak merajuk.

Dorrr... Dorrr.. Dorrr..
Pintu rumah datuk Syarif digedor keras.
"Datuk.. Toloonngg.. Ada harimau besar masuk ke dusun."
Pendengaran tajam Ifa menangkap keributan didepan rumah datuk Syarif. Ifa bergegas keluar kamar dan mendapati datuk Syarif yang terlihat mengambil goloknya lalu keluar rumah.
"Ada apa amak?" Ifa bertanya pada amak Sarah yang nampak gelisah.
"Ada harimau masuk dusun, dokter." amak Sarah berkata sambil memeluk Sarah putri bungsunya.
'Harimau,'
deg. Ifa berlari keluar rumah ia tak menghirau teriakan amak Sarah yang memintanya tetap tinggal.

Beberapa meter dari tempat tinggal datuk Syarif Ifa melihat segerombolan orang yang terlihat ribut mengelilingi sesuatu. Ifa mempercepat langkahnya dan mendapati hewan besar pemakan daging yang sudah berlumuran darah akibat dilempari warga dengan kondisi tubuh terikat kuat.
'Belang' Ifa melotot mengenali hewan buas itu.

"HENTIKAANN!!!" Ifa berteriak membuat semua warga menoleh padanya. Ifa berlari hendak menggapai si belang, namun langkahnya terhenti karenap tangannya dijegal seseorang.
"Dokter Ifa, apa yang kau lakukan?" Zainal menatap khawatir Ifa.
"Lepaskan saya uda!" Ifa menghempas kasar tangan Zainal.

"Dokter tolong jangan mendekat, hewan itu berbahaya." seorang bapak mendahului perkataan yang ingin Zainal katakan. Ifa mengingat namanya pak Samsul, pasien Ifa satu-satunya yang mendapat terapi lintah akibat bakteri jahat ditubuhnya sudah menggumpal bersama gula darah yang tinggi dalam tubuh pak Samsul yang mengakibatkan kaki pak Samsul membusuk karena penyakit diabetes basah. Untuk kondisi seperti pak Samsul diperlukan zat yang mampu menghancurkan dan mendetoksifikisi gula darah dan bakteri jahat dalam satu metode. Dan pilihan Ifa jatuh kepada zat hirudin yang dimiliki air liur lintah, zat yang mampu mengurai dan mengeluarkan gumpalan merugikan di dalam tubuh.

"Pak Samsul, harimau itu tidak berbahaya.." semua orang terdiam merasa terkejut dengan ucapan Ifa.
"Hewan ini berbahaya dan ia layak mati! Kau hanya anak kecil jadi kau tidak tau apa-apa." Ifa hendak melanjutkan penjelasannya namun pak Romli datang ke tengah-tengah kerumunan dengan golok besar yang ia arahkan pada si belang.

Ifa reflek melompat dan menendang golok digenggaman pak Romli.
Wusshhh.. Jleb,
Golok pak Romli terlempar dan menancap dalam pada salah satu pintu rumah warga.
"Usia saya memang masih sebelas tahun, tapi saya tau mana lawan yang harus di lawan dan mana lawan yang harus di lepaskan!" Ifa berkata dingin matanya yang tajam mampu membuat siapapun yang melihat menahan nafas.

Sejak dulu Ifa tak suka dengan orang yang tak bisa menghargai makhluk lain. Ifa tak suka pada orang yang bersikap seakan dirinya lebih mulia daripada yang lain.

Ifa lalu berjalan menghampiri si belang yang nampak kacau.
"Kau merindukanku?" Ifa melepas semua tali yang mengikat keras tubuh rapuh si belang. Tangannya mengelus lembut luka-luka baru ditubuh si belang yang nampak mengeluarkan darah segar.
"Maafkan aku.." Ifa tak tahan dengan rasa sesak di dadanya. Ia seakan kembali melihat tubuh paman Anton yang penuh luka tembak.
"Ayo kita pulang." Ifa hendak menuntun si belang namun langkahnya terhenti oleh panggilan penuh hormat.

"Dokter Ifa." Ifa menoleh dan melihat datuk Syarif membawa ransel dan tas jinjing nya.
"Datuk membawakan barang-barang dokter. Tolong maafkan perlakuan warga dusun datuk,"
Datuk Syarif memang yang paling peka. Ia paham bahwa Ifa bukan sembarang anak berusia sepuluh tahun. Melihat reaksi Ifa yang menghentikan amukan warga pada hewan buas pemakan daging memaksa datuk menerima kesimpulan bahwa Ifa memiliki hubungan dengan hewan besar yang ia bela itu.

"Terimakasih," Ifa menerima uluran tangan datuk Syarif yang mengantarkan ransel dan tas jinjingnya.
Datuk Syarif tak banyak bicara, seperti biasa ia selalu bisa memahami situasi dengan cepat. Saat ini Ifa memang sedang dalam emosi yang tak stabil. Dan ia tak ingin diajak banyak bicara.

"Ayo belang, kita pulang." Ifa menerima permintaan si belang yang memintanya menaiki punggunya. Ifa memeluk erat leher si belang, menyalurkan penyesalannya yang kian membludak saat indra perabanya merasakan kembali darah segar yang keluar dari luka baru si belang.
"Maafkan aku.." kali ini Ifa tak lagi bisa menahan air matanya. Ia menenggelamkan wajahnya pada bulu si belang yang entah mengapa terasa lebih hangat. Ifa tak peduli pada tubuhnya yang menggigil karena angin malam. Ifa hanya ingin memeluk binatang sombong ini.

Penduduk dusun yang menyaksikan perubahan sifat Ifa malam ini masih tak percaya dengan penglihatan mereka. Dokter Ifa yang lemah lembut, sopan dan baik hati itu terlihat lain dimalam ini. Dokter Ifa yang mereka kagumi menampilkan sisi lainnya. Warga dusun masih mengingat aura yang dilepaskan Ifa, begitu memekak dan sangat menyiksa. Mereka menyadari mereka telah berbuat salah dengan membangkitkan kebencian gadis berusia sepuluh tahun yang sejak awal memang terlihat misterius.
.
.
.
"Seperti biasa kau selalu mengagumkan dan mengejutkan." sosok laki-laki berpakaian serba hitam tersenyum penuh arti dalam kegelapan menatap lekat kepergian Ifa yang berlalu dengan menunggangi harimau besar.
"Bos harus tau tentang hal ini," ia lalu mengeluarkan ponsel pintarnya dan mengetik pesan lalu mengirimnya.
"Aku ingin melihat kejutan lain darimu, Ifaa..." laki-laki berpakaian serba hitam itu memasukan kembali ponselnya kedalam saku jaket hitamnya sebelum ia berbalik dan berjalan mendalami gelapnya malam. Meninggalkan keheningan yang menggantung dibelakangnya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang