Bagian 63

81 10 0
                                    

“Bagaimana bisa?” tanya Ifa tak paham alur cerita.

“Setelah Dokter pergi, dusun memang kembali baik-baik saja. Penduduk dusun sudah tidak ada lagi yang sakit-sakitan, warga yang belajar pada Dokter bahkan ada yang mendapat beasiswa sekolah di kota, Uni Sarah contohnya. Uni Sarah direkrut Universitas Kedokteran di Jakarta.” Uda Zainal menerima segelas kopi hitam yang diantar pelayan.

“Lalu?” Ifa masih belum mendapat jawaban bagi rasa penasarannya.

Uda Zainal menyesap kopi sedikit lalu meletakannya kembali di meja. “Kepergian Dokter meninggalkan rasa bersalah pada setiap warga dusun.”

Ifa terdiam. Ingatan kepergiannya dari dusun bersama si belang … kembali terngiang.

‘Hewan sombong,’ gumam Ifa dalam hati.

“Oleh sebab itu, saya diutus Datuk Syarif dan warga untuk mencari Dokter dan meminta maaf.”

Ifa menatap tak percaya pada apa yang diucap lawan bicara.

“Saya mencari Dokter di Jakarta lalu tak sengaja saya menaiki pesawat yang menuju ke Singapura.”

“Saat itu, maksud saya masuk ke dalam pesawat adalah untuk mengembalikan dompet bapak-bapak yang jatuh tepat di depan saya.” Uda Zainal tersenyum. Ia menertawakan kenaifan dirinya di masa itu.

“Namun ternyata saya salah mengikuti orang.”

“Dan saat saya menyadari hal itu, pesawat sudah lepas landas.”

Uda Zainal mengangkat cawan kopi dan menyesapnya kembali. Perasaan malu yang ia terima saat ditanya petugas pesawat tentang keberadaannya tanpa biaya, mengingatkan kembali pada usaha sia-sianya mengembalikan dompet.

Dan Uda Zainal tidak berniat menceritakan kepada Ifa bahwa dari sanalah awal mula dirinya memegang profesi sebagai pengambil hak orang lain.

Dompet yang ia temukan menjadi dompet pertama yang isinya ia gunakan untuk menyambung hidup di negeri orang. Untunglah dulu dirinya cukup mengerti bahasa Inggris. Dengan begitu, sedikitnya ada bekal untuk berkomunikasi.

Namun ternyata, komunikasi saja tidak cukup. Uda Zainal hanya lulusan SD. Tidak ada yang mau menerima pekerja yang hanya ber-ijazah SD. Terlebih saat di dusun, kerjaan Uda Zainal hanya membantu Amak berburuh di kebun karet Datuk Syarif.

Ahh, betapa terkejutnya ia saat menyadari bahwa orang yang ia cari tanpa disadari menjadi korban ulahnya menyambung hidup dengan cara yang salah. Dan Ifa, dia masih sama. Insan paling mulia yang pernah ia temui.

Memberi dolar lalu tidak berusaha membuat dirinya ditangkap polisi dan bahkan mendoakannya adalah hal ajaib lain yang ia temui dari seorang Dokter kecil yang telah menjelma menjadi gadis anggun dan tak tersentuh.

“Apa Dokter tidak berniat menanyakan alasan saya menjadi pencopet?” Uda Zainal meletakan cawan dan bersiap mendengar ucapan lain dari sosok yang ia cari selama merantau.

Ifa tersenyum. “Setiap orang pasti memiliki kisahnya masing-masing. Dan yang saya pahami, bagian buruk di kehidupan merupakan hal yang paling tak ingin diingat.”
Ifa menyandar pada penyanggah kursi. Ia lalu mengarahkan pandangan pada ramainya jalanan beraspal.

Ia sendiri memiliki banyak kisah yang tak pernah mau ia ingat. Kepergian si belang dan pamannya, kenyataan tentang ibunya, kehilangan Kak Rizki, Rian dan peliknya kehidupan saat masih sendiri.

Sesuap nasi di masa lalu agak sulit ia dapatkan hingga dirinya harus rela menjadi pencuci piring di beberapa tempat makan yang mendadak membuka lowongan kerja. Atau menjadi buruh di pabrik yang hanya akan digunakan bila bahan kerjaan sudah tiba.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang