04 Bagian Empat

212 18 0
                                    

"Ayolah! Menangis!" Hanya itu. Pengap digelung suara cambuk kasar menyentuh keras kulit kusam gadis mungil, bersahutan dengan deru napas geram milik tuan gila.

Entahlah, Ifa bingung, apa ia harus tertawa karena tuannya tak juga mendapatkan apa yang dia inginkan darinya?

Atau, harus tertawa lebih keras lagi, melihat si gila tampak lelah kepayahan menghadapi kekeras kepalaan perasaannya?

Akan tetapi, memangnya apa? Apa yang dia dapat bila air mata meluruh? Tiga tahun tahun lalu, si mungil pernah melakukannya, tetapi apa? Apa yang ia dapat?

Bukannya pengampunan, kegilaan Tuan Jaka malah semakin menjadi. Tawanya yang memekak semakin keras dan tak terkendali.

Sejak saat itu, Ifa memutuskan, menyeka dalam-dalam air mata, membungkam kuat-kuat jeritannya.

Biarlah, si gila itu saja yang menderita. Dan Ifa akan berbangga, mendapati Tuan Jaka berhenti menyiksanya, dengan wajah lelah dan frustasi.

Oh, sungguh indah dan menghibur.

Ha! Apa yang dipikirkan gadis aneh itu? Apa dia gila? Tidak. Dia hanya lelah dengan kondisi kehidupan yang tak juga membaik.

Ifa berjalan perlahan, menyusuri lorong sepi bau pesing.

Entahlah, si pemilik kaki perih tak tahu, aroma itu berasal dari minuman beralkohol milik anak buah Tuan Jaka, atau dari pembuangan urine menjijikkan mereka.

Langkah terhenti tepat di sudut kiri lorong. Menggiring pelan masukki lubang kecil. Dia klaim menjadi daerahnya.

Ifa duduk, muruskan kaki. Tampak jelas garis-garis indah berwarna merah darah. Sangat segar dan memprihatinkan. Cambuk Tuan Jaka pelakunya.

Ifa mengambil botol kecil, mengeluarkan isinya, lalu mengoleskan pada luka-luka baru di tubuh.

Manis, pedas, perih, dan menyiksa. Menyatu dalam setiap olesan ranti yang ia racik sendiri.

Ah, Ifa sangat bersyukur telah menemukan buku tebal kuno itu. Ibnu Sina, Ifa selalu mengenang nama tokoh itu.

Di jelaskan dalam buku temuannya, bahwa Ibnu Sina merupakan Dokter muslim pertama yang mendunia. Dari buku tersebutlah Ifa tahu bagaimana cara merawat luka.

Buku tebal itu, Ifa temukan saat tersungkur kala dia mendapat pukulan keras dari anak laki-laki pemberi roti dengan kaki, tiga tahun lalu.

Buku kuno, menarik, pikirnya kala itu. Hingga, si mungil rela berjuang keras demi memahami setiap kata yang tercetak.

Ifa juga pontang-panting mencoba segala praktek yang tertulis. Dia sangat mengagumi sosok muslim cerdas yang melegenda itu.

Brrmmm... Brrrmmm... Ngeeeenngg ....

Suara itu lagi. Selalu saja begitu. Tidak hanya Tuan Jaka saja yang gila, seluruh penghuni gedung kumuh ini gila!

Siang berkeliaran memeras hak orang, malamnya berteriak tak tahu waktu menyuarakan kegilaan.

Kadang Ifa berpikir, apa kabar kondisi tubuhnya?

Ah, sudahlah.

Suara seng terjatuh menggema, mengusik keseriusan Ifa dalam mengobati luka.

Ifa masih bergeming. Memfokuskan diri pada usaha menempatkan racikan obat pada kulit mengelupas.

Namun, fokusnya harus terpecah, saat suara benda jatuh terdengar lebih menyebalkan.

Ifa melirik lubang penghubung dunia luar dengan kediamannya.

Siapa yang memainkan tong sampah selarut ini? Tidak bisakah cukup memandanginya dan membuang sampah saja?

Malang sekali nasib seng berbentuk bulat itu, harus menjadi sasaran kegilaan penghuni gedung.

Tak lama terdengar lagi suara bising. Benda bulat itu menggelinding dan
... Duarrr ....

Tong sampah menabrak tiang lebar di lorong kiri.

Ifa mulai kesal. Dia keluar, melihat dan memperbaiki.

Dasar preman-preman gila tak tau waktu, gerutu Ifa sembari berusaha membuat benda tabung itu berdiri tegak.

Berat. Kali ini sampah apa yang mereka hasilkan?

Ifa mendengkus. Mundur selangkah, memandangi tong penuh kesal. Dia menendang, tetapi sejurus kemudian,, dia diam.

Ifa membuka penutup tong. Didapatinya seorang pria. Siapa ini?

Tak terkejut? Ya, gadis itu memang tak terkejut, dia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tubuh penuh darah, wajah sulit dikenali. Bahkan, kadang Ifa melihat tubuh yang tak utuh.

Ah, sepertinya dia masih hidup ....

Ifa mengeluarkan tubuh penuh luka.  Menyeret pelan memasukki wilayahnya.

Setelah berjuang keras, akhirnya Ifa sampai di ruang medis. Perlahan dia membersihkan darah, mengalir mengerikan dari robekan-robekan daging di tubuh pasien pertama.

Hmm ... mengapa dia memiliki tato harimau naga juga?

Deg.  Ifa mundur, meringsut, dan bergetar.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang