Bagian 71

101 10 0
                                    

Dirga menatap awas pada pergerakkan setiap insan yang ditampilkan dalam layar komputer. Ia telah sembuh dari cederanya dan kali ini pemuda tegas itu tengah dalam misi pencarian gadis pujaan.

"Sial!" Ia memukul layar hingga benda ajaib itu terjungkal.

"Di mana kamu, Ifa?" Dirga mencengkram kasar kepalanya. Sudah satu bulan ia mencari gadis itu, tapi belum ada jawaban bagi keberadaan sosok tercinta.

Dering panggilan tak ia hiraukan. Pikirannya masih rancu dan fokusnya masih belum bisa berdamai dengan keadaan.

Dirga bangkit. Ia dorong kasar kursi yang sudah menjadi tempatnya bertahta dalam menyusun berbagai rencana selama 10 tahun ini. Namun, naasnya, ia tak bisa menemukan rencana yang pasti untuk menemukan gadis itu.

Dirga berjalan gontai. Bulu-bulu halus tumbuh tak terurus di wajahnya. Ia menyibak gorden dan ditemukannya bahwa hari sudah kembali pagi.

Silau yang menyapa mata tak ia hiraukan. Dengan hanya bercelana selutut dan kaus tanpa lengan, Dirga berjalan keluar kamar. Lapar, itu yang ia rasakan.

Tangan kukuh Dirga membuka kulkas kecil. Ia meraih mineral dingin dan menenggaknya hingga tak tersisa.

Dirga melempar botol dan berjongkok frustasi. Tubuhnya bergetar dan maniknya memerah. Ia lalu tertawa hambar. Menertawakan betapa menyedihkan kehidupannya tanpa kabar gadis tercinta.

"Ifa, apa kau ingin aku menjadi gila?" Tatapannya kosong dan wajahnya kusut.

Dirga bangkit dan meninju keras dinding ruangan hingga buku-buku tangannya berdarah, tapi ia tak peduli. Berulang Dirga menyakiti diri sendiri berharap dengan begitu gadisnya datang walau dengan membawa rasa iba.

"Dirga!" Harris berjalan tergesa.

"Lo gila?!" teriaknya dengan menarik paksa Dirga dari brutalnya amarah gila.

"Ambil wudhu!" Dokter penjelajah itu mendorong Dirga memasuki kamar mandi.

"Untuk apa?" Dirga tersenyum meremehkan.

Harris berjalan mendekat lalu menampar pipi kiri Dirga sekuat tenaga hingga pemuda tangguh itu terhuyung dan bercak darah muncul di antara sudut bibir pucatnya.

"Istighfar, Dirga," ucap Harris parau dan tegas.

Dirga menarik napas dalam lalu beristighfar dengan getar di bibir yang terlihat kentara. Hawa sesal menyusup dada merajam rasa dan menghukum prasangka jahil.

"Ambil wudhu." Harris berjalan meninggalkan Dirga, pemuda tangguh yang kehilangan sosok tercinta.

"Allaah...," lirihnya memohon ampun.

Dirga bangkit. Mengambil wudhu dan menemui Harris di ruang tengah.

"Lakukan shalat taubat," kata Harris yang dijawab dengan anggukkan patuh lawan bicara.

Dirga mengganti pakaian, menggelar sajadah, dan mengadu kepada Yang Mahasatu. Sujud mengundang berserah pada hatinya yang gundah.

Ia malu sebab sudah satu bulan ia meninggalkan Penciptanya. Sungguh bodoh dan hina jiwa yang berlumur dosa lagi tak tahu malu. Dirga tersedu, menyesal, dan tak tahu harus berbuat apa. Ia terisak dalam setiap untaian kata yang kembali ia telan. Tak kuasa untuk sekedar bercerita.

"Pintu rumah lo gak dikunci, jadi gue masuk aja," ucap Harris di ambang pintu kamar.

Dirga mengangguk dan beranjak membereskan tempatnya mengadu.

"Jadi ...."

Dirga diam.

"Lo belum ...."

Dirga mengangguk. Mengerti arah pembicaraan Kakak angkat dari gadis merah maroonnya.

"Kita cari sama-sama," usul Harris.

"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Dirga parau.

"Pasti, dia itu gadis baik-baik dan hanya orang baik-baik saja yang akan mengelilinginya," hibur Harris.

Dirga mengangguk, meraih kunci mobil dan berjalan keluar rumah.

"Ke mana?" tanya Harris.

"Nyari bini."

Harris tersenyum. Tentara muda itu telah kembali pada sifatnya.

"Jadi, apa rencana lo?" Harris mensejajarkan langkah.

"Ke rumah Bagus. Dia bagian lapangan di kepolisian. Pasti ada sesuatu yang bisa dia lakukan," terang Dirga.

Dirga dan Harris memasuki mobil, menyetel musik klasik, dan melaju tergesa di jalan aspal.

**

"Eh, Den Dirga, silahkan masuk," ucap wanita paruh baya yang membuka pintu.

"Bagusnya ada, bu?" tanya Dirga di antara kaki yang melangkah santai.

"Ada, langsung ke kamarnya aja. Den Bagus akhir-akhir ini ngurung terus," adu asisten rumah tangga.

"Loh, kenapa?"

"Saya juga kurang tahu, Den."

Dirga mengajak Harris menuju ruangan pribadi Bagus. Sebelum ke kediaman Bagus, Dirga sudah mencari Inspektu 1 Polisi itu di kantornya, tapi timnya mengatakan bahwa Karibnya itu sudah tidak masuk sejak 1 bulan yang lalu.

"Gus," panggil Dirga saat netranya menangkap sosok teman yang menatap kosong pantulan cahaya di jendela kamar. Tubuhnya lebih kurus dari yang terakhir kali Dirga lihat.

"Lo kenapa sih?" Dirga mengambil duduk di atas ranjang biru tua. Ditatapnya wajah kawan dalam pangkuan kursi besar.

"Lo baik-baik aja kan?" cecarnya. Namun, temannya itu masih saja setia dalam kebisuan. Kesal, Dirga berjalan mendekat.

"Gus, lo ke...." Manik Dirga membulat. Dalam dekapan Bagus, ransel Ifa dikekang.

Dirga merebut ransel. "Kenapa ini bisa ada di sini?"

"Kembalikan," sahut Bagus getir.

"DI MANA DIA?!" Dirga meraih kerah Bagus dan menariknya mendekat.

"Di mana Ifa?" tanyanya ulang.

Tatapan kosong, garis hitam melingkar di mata, dan bibir yang pucat. Dirga bisa melihat dengan jelas ribuan penyesalan di sana.

"Kenapa ransel Ifa bisa ada di lo, brengs*k?!" Dirga meninju wajah lemah itu. Tangannya bergetar dan amarah berada tepat di ujung sendu.

Menyaksikan Bagus yang terhuyung tanpa perlawanan mengundang prasangka buruk di dada. Dirga menendang keras perut Bagus yang mengalami penurunan berat badan drastis.

"Jelaskan, brengs*k!" raung Dirga dengan tanpa henti melukai sosok rapuh. Sedangkan ransel Ifa begitu erat ia genggam. Tak ia pedulikan jeritan histeris penghuni rumah. Tak ia turuti pergerakkan Harris yang berusaha menghentikan amukannya.

Di bawah amarah Dirga, pemuda dengan kulit pucat memeluk diri. Sedikit pun tak ada niat untuk melawan. Memang layak ia menerimanya. Keegoisannya telah menyakiti gadis itu. Gadis yang ia anggap satu-satunya di muka bumi ini.

Bagus mencengkram kasar rambut acaknya. Air mata jelas berderai penuh sesal. Sakit yang di antarkan Dirga tak ia hiraukan. Masih ada duka yang hingga detik ini menyayat perasaan.

Ia ikut meraung. Mengikuti kekacauan perasaan kawan. Seharusnya bukan begini. Seharusnya ia mati saja dan tak pernah ada di kehidupan gadis itu. Biarlah neraka melahapnya. Menghukum jiwa dan menyiksa pemilik dosa.

"Ifa, maafkan aku," lirihnya dengan tubuh yang dibalut genangan darah.

Buram menyambut dan perih perlahan merampas paksa kesadaran. Memori di mana ia menegakkan keegoisan kembali terngiang. Sosok anggun yang ia paksa bertekuk lutut dan menjadi miliknya.

Namun, sesuatu terjadi. Menarik sesal yang tumbuh gersang di antara deret perjalanan salah. Gadis itu....

__

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang