Bagian Dua Belas

155 17 9
                                    

Ifa tengah menatap langit yang bersih tanpa awan dengan tubuh mengambang di perairan air terjun.

Sudah satu tahun, apa Arya sudah berhenti memburuku?

Ifa menerawang. Bertanya pada diri sendiri.

Sejujurnya, Ifa sudah ingin keluar dari hutan dan mulai mencari Pamannya, tapi niat Ifa selalu urung karena firasat mengatakan bahwa Arya masih dalam pencariannya menemukan keberadaan dia. Dan Ifa tak ingin mengambil resiko ditangkap Arya.

Gadis dengan kain yang lebih tipis itu megakhiri ritual mandi sorenya. Ia mengganti pakaian basah dengan pakaian yang baru. Lalu mencuci pakaian yang Ia gunakan sebagai penutup tubuh saat mandi.

Ketika Ifa berbalik hendak kembali ke kediaman, seekor harimau besar tengah duduk setia dengan gagahnya.

"Ck. Apa kau tidak punya teman sebangsamu yang bisa kau ikuti?" Ifa menggerutu tak suka mendapati si belang selalu saja mengikuti.

Ya. Hewan buas itu adalah si belang yang 1 tahun lalu berniat menjadikan dirinya santapan, tapi rencana tinggallah rencana. Ifa berhasil mengalahkan hewan pemakan daging itu.

Sejujurnya, Ifa agak bingung, kenapa hewan buas ini menjadi sangat patuh padanya?

Ifa pernah membaca bahwa harimau adalah salah satu hewan yang memiliki akal dan menjunjung tinggi harga diri. Dan Ifa benar-benar menyaksikannya sendiri. Si belang memang agak sombong, tapi ia setia menemani kemanapun Ifa pergi.

Ifa berjalan diikuti sibelang di belakang. Sungguh, bila ada yang melihat mungkin mereka akan berpikir bahwa ini gila. Dan memang gila! Ifa sendiri mengakui itu.

Gadis berusia 12 tahun di kawal seekor harimau besar?

Apa ini sebuah fiksi?

No. Ini real dan Ifa mengalaminya sendiri.

Langkah Ifa terhenti di sebuah gubuk sederhana. Ia berjalan memutar ke samping gubuk dan menjemur hasil cuciannya sore ini.

Hari sudah mulai gelap, Ifa memasuki gubuk dan melihat bahwa ruangan tempatnya meracik herbal tampak berantakan.

"Sepertinya aku lupa membereskan kembali tempat ini." Ifa bergumam pada diri sendiri yang tampak malas membereskan kekacauan di depan mata.

"Besok sajalah," katanya sambil berlalu meninggalkan ruangan bak kapal pecah itu.

Ifa berjalan menuju sudut gubuk yang menampilkan setumpuk jerami yang telah Ifa modifikasi menjadi tempat tidur.

Gubuk itu Ifa bangun sendiri, dengan bantuan si belang tentunya.

Entahlah, hewan buas itu ternyata ada gunanya juga. Ifa menjadikan si belang sebagai kendaraan dalam mengangkut barang-barang untuk membangun gubuk.

Ifa menggelar sajadah untuk menunaikan kewajiban salat magrib. Ifa meyakini bahwa saat ini sudah masuk jam salat maghrib.

Meskipun tak ada muadzin yang mengumandangkan adzan, Ifa tetap menunaikan kewajiban salat 5 waktu dengan menjadikan Matahari sebagai tolak ukur waktu.

Jam tangan benar-benar tak bisa di andalkan. Ifa menyadari bahwa waktu di pelosok hutan ini dan Jakarta itu berbeda.

Setelah mengucap salam, Ifa melanjutkan aktivitas dengan tadarus hingga waktu Isya tiba.

Oh, ya, ngomong-ngomong si belang tak pernah di izinkan Ifa memasukki gubuk setelah tragedi hancurnya gubuk.

Saat pertama kali gubuk berhasil dibangun, Ifa mengajak si belang masuk dengan tujuan syukuran.

Namun, tujuan tinggallah tujuan. Tubuh besar si belang menghancurkan pintu masuk dan menyenggol penyanggah gubuk.

Alhasil, gubuk hancur dalam satu gerakan hewan bertubuh besar itu.

Ifa melongo tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia masih syok dengan pemandangan bangunan yang ia bangun selama beberapa hari, hancur dalam beberapa detik.

Ifa meraung memukul tubul si belang yang tak juga berekspresi.

Dan memangnya apa yang bisa ia harapkan dari si belang?

Hewan buas itu meminta maaf dan mengatakan tidak sengaja?

Ohh, yang benar saja!

Sejak saat itu, Ifa memutuskan: si belang dilarang keras memasuki kediamannya.

Di antara lantunan alquran, Ifa mendengar sesuatu yang berbobot terjatuh di depan kediaman.

Ifa meletakkan alquran kecil ke atas tumpukan jerami tempat Ifa tidur lalu melepaskan mukena putih bersih sebelum Ifa gulung agar tak terlihat berantakan.

Gadis dengan kerudung instan itu berjalan keluar gubuk dengan menggenggam bambu runcing yang biasa Ifa gunakan untuk menghadang hewan buas atau hewan berbisa yang menghampiri kediamannya.

Biasanya si belang selalu menghadang tamu tak diundang lebih dulu. Lalu akan mengeram jika dirasa aku perlu tahu, tapi kali ini dia kemana?

Ifa bertanya dalam langkah penuh kehati-hatian.

Ia membuka pintu sedikit lalu mengintip keluar.

Tidak ada si belang, tapi Ifa menemukan hewan besar lain yang tergeletak di depan gubuk dengan pergerakan tubuh menunjukkan napas yang terlihat seperti menahan sakit.

Ifa membuka pintu lebar-lebar lalu menghampiri tubuh tak berdaya itu.

Hmm ... seekor kuda.

Ifa memeriksa dan menemukan kuda berwarna hitam itu terluka di bagian perutnya dengan sebuah anak panah berkualitas cukup bagus menancap dalam.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Sepertinya kau diincar seseorang," kata Ifa. Merasa menemukan seseorang yang senasib dengannya.

"Sebentar. Aku akan menolongmu." Ifa berlari memasuki kediaman dan keluar dengan menyandang tas jinjing merah dan sebuah mangkuk berisi krim berwarna hijau.

Ifa duduk mengambil posisi yang nyaman, lalu meraih anak panah yang menancap dan mematahkannya. Ifa mengeluarkan semprotan berwarna merah lalu menyemprotkannya pada luka kuda hitam dihadapan.

"Tenanglah, jangan tegang." Ifa berkata sambil terus menyemprotkan cairan di botol.

Botol itu hanya berisi air yang sudah Ifa campurkan dengan beberapa tanaman yang memiliki kandungan peningkat hormon endorfin. Fungsinya, memberi ketenangan dan kenyamanan pada penerima agar saat Ifa bertindak mengobati, pasiennya tidak akan merasakan sakit.

Ifa pernah melakukan ini beberapa kali dulu pada Paman Anton. Saat Pamannya itu mendapat luka tembak dan Ifa harus melakukan operasi pengeluaran peluru dari tubuh pyaman Anton.

Ahh, Ifa benar-benar merindukan Pamannya yang pemarah itu.

Ifa mengelus kuda hitam yang kini terlihat napasnya mulai teratur. Dalam gerakan pelan Ifa mengambil alat pengapit lalu mengarahkannya pada sisa anak panah yang masih menancap dan menariknya dengan penuh kehati-hatian.

Berhasil! Ifa bertepuk tangan dalam hati untuk dirinya sendiri saat seluruh bagian anak panah berhasil ia cabut.

Darah mulai mengalir deras dan Ifa sudah tayu akan hal ini. Ia mengambil kain yang sudah Ifa siapkan lalu menempelkannya pada sumber aliran darah.

Ifa menekan kuat-kuat luka dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berusaha meraih mangkuk berisi ranti yang telah Ifa campur dengan tanaman lain yang mengandung antiseptic, anti peradangan, dan juga anticoagulan yang mampu menghentikan pendarahan.

Akhirnya. Ifa menghela napas saat tangan kiri berhasil menjangkau mangkuk berisi krim hijau itu.

Ifa membuka kain penutup luka yang kini sudah penuh darah.

Pelan-pelan ia mengoles krim hijau itu pada luka dalam kuda hitam yang kini tampak tertidur dengan lelap.

Ahh, sepertinya kau memang sangat kelelahan.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang