Bagian 45

115 8 3
                                    

"Asyhadualla illaha illallah," tuntun Pak Aang.

"Asyahadu ... allailaha ... illallah," turut Rian terbata.

"Wa asyahadu anna Muhammadarrasulullah," lanjut pak Aang.

"Wa asyhadu ... anna ..." Rian terdiam sebentar lalu mulai menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Muhammadarrasulullah," tuntun pak Aang.

"Muhammad ... darrasulullah ..." lirihnya merasa lega dan damai.

"Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah," ucap Pak Aang menuntun.

"Aku ... bersaksi bahwa ... tiada tuhan selain Allah," Rian mengikuti dengan perasaan hangat yang menjalar di relung hatinya.

"Dan aku bersaksi, bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah," tambah Pak Aang menuntun.

"Dan ... aku bersaksi, bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah."

Rian bersujud, mengucap syukur dengan bahasanya sendiri. Keningnya ia tekan ke atas sajadah merah yang terasa lembut dan membelai.

Rian bersyahadat di atas perahu yang mengambang, di saksikan riangnya biru langit dan di sapa hembusan angin laut yang syahdu.

"Alhamdulillah, Allahuakbar," lirih Pak Aang terisak dengan memeluk punggung Rian yang masih bersujud penuh haru.

Ifa menyeka air mata haru,
'Rabbi, dulu hamba sempat membencinya sebab perlakuan batilnya dan saat ini dia telah selesai mengikrarkan sumpah dan janji pada-Mu. Mohon bimbinglah ia selalu agar tetap istiqomah di jalan-Mu dan kuatkan ia dalam melewati semua ujian kasih-Mu.'

Ibu Siti Aminah yang duduk di sisi kiri Ifa menyentuh halus lengan Ifa,
"Dia saudara kita sekarang."

Ifa tersenyum dan mengangguk tanda ikut bersyukur.
"Alhamdulillah ...." lirih Ifa dengan menggenggam erat lengan ibu Siti Aminah yang menyentuh pergelangan tangannya.

Setelah hanya membaca terjemah surat Al Fatihah, Rian langsung mantap berucap ingin bersyahadat.

Takbir bergema, penumpang perahu lain yang beragama islam turut menjadi saksi dan menangis haru.

Sudah tak ada lagi Rian yang tertutup kabut sesat, tak ada lagi Rian yang tenggelam dalam lautan maksiat dan tak ada lagi Rian yang meragukan adanya Dia yang gaib.

Rian kini adalah Rian yang baru. Rian yang terlahir kembali sebagai umat beragama islam yang suci dan bersih.

"Kalau boleh tau, kenapa nak Rian bisa ada dalam tong?" Tanya pak Aang memecah hening yang sempat menggantung setelah para saksi Rian bersyahadat kembali membubarkan diri.

Rian menunduk lalu menghela nafas kasar.
"Saya putra dari preman besar di Jakarta. Dan satu bulan yang lalu ayah saya meninggal. Markas tempat saya berkumpul diserang preman lain dan hampir semua bawahan kepercayaan ayah saya berkhianat. Mereka menyiksa saya dan memasukan saya ke dalam tong. Dan selanjutnya saya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi hingga saya bisa sampai di sini," jelas Rian.

"Biiznillah, itu izin Allah," jawab Pak Aang penuh haru.

"Lalu boleh bapak tau kenapa nak Rian memutuskan masuk islam?" Tambah Pak Aang.

Rian menutup mata, mengenang kembali hari-harinya yang jauh dari cahaya. Begitu suram dan liar, tak terkendali dan banyak menindas.

Lalu mimpi itu, mimpi terbangun di tengah-tengah gurun pasir yang panas. Dan matahari terlihat tepat di atas kepala.

Orang-orang berbaris rapih bergilir mendekati dua orang yang berjubah.

Hingga tibalah gilirannya, ia bisa melihat semua hal yang dilakukan dikehidupannya terpampang nyata dalam layar besar dihadapan.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang