Bagian 67

95 11 0
                                    

Malam telah menyapa, tetapi gadis dengan seragam hitam itu masih belum berniat menghentikan kegiatannya dalam tenda P3K.

"What are you feel now? (apa yang kamu rasakan sekarang)" tanya Ifa pada gadis kecil dengan kerudung kusam yang baru selesai ia tangani.

Lukanya tidak begitu serius. Hanya luka-luka kecil di lutut, sikut dan kening.

"I'm okey (aku baik)," jawabnya dengan menunduk.

Ifa tersenyum. Penduduk Peswarah hampir semuanya fasih berbahasa Inggris, termasuk anak-anaknya.

Sebelum memutuskan terbang ke Pakistan, Ifa mempelajari bahwa ternyata negara yang dikenal memiliki jumlah umat muslim terbanyak setelah Indonesia ini merdeka di tahun 1947 dari jajahan bangsa Inggris.

"Rahma, apa kamu mau saya carikan tempat penginapan?" Zein duduk dalam amparan di dalam tenda yang bersebrangan dengan tempat Ifa membuka praktek pengobatan.

"Ini sudah jam satu pagi," tambah Zein dengan melepas kamera besar yang ia selendangkan.

"Malam ini, saya akan menginap di sini." Ifa membereskan alat medisnya. Mungkin untuk sementara, gadis kecil tadi merupakan pasien terakhirnya hari ini.

Zein tampak berfikir saat Ifa bangkit dan berjalan keluar. Aroma malam terasa lebih menenangkan daripada sebelumnya saat darah segar masih berceceran.

Ifa berjalan keluar tenda merah, netranya ia putar menyisir pergerakan setiap insan.

Lalu lalang orang-orang melewatinya, mulai dari tenaga medis, tentara bersenjata, dan anak-anak yang memeluk bingkisan berisi jatah makan malam yang telat datang.

Ifa melipat tangan di depan dada dan saat menunduk didapatinya tanah Peswarah yang lebih keras dan kering akibat bom. Ifaberjongkok dan menyentuh tanah, entah mengapa ia merasa tak terima atas hal buruk yang menimpa saudara seimannya di sini.

Ifa bangkit, menengadah menatap langit malam yang bersih tanpa celah. Tetap tenang meski sesuatu telah terjadi di bawah naungannya.

Cekrek.

Suara bidikan kamera mencuri fokusnya.

"Zein," protes Ifa merasa tak nyaman sebab Zein entah mengapa begitu suka mengambil gambar dirinya tanpa izin.

Zein bergeming. Ia memeriksa hasil bidikan dan menyodorkan kamera pada Ifa. "Cobalah."

Ifa mempertanyakan maksud ucapan Zein dengan matanya.

"Dulu, jika hati saya sedang tidak baik-baik saja, saya akan memotret dan setelahnya saya akan lupa pada perasaan itu." Zein kembali mengulurkan kamera besar pada gadis ajaib di hadapan.

Ifa menerima dan mencoba mengikuti saran rekan perjalanannya.

"Pegang kamera dengan tangan kiri sebagai tumpuan."

Ifa mengernyit dan Zein mengerti.

"Hasil foto akan lebih bagus jika yang mengarahkan bidikan gambar adalah tangan kanan," terang Zein.

"Jadikan tangan kiri tumpuan kamera dan tangan kanan pengarah bidikan," tambahnya.

Ifa mempraktikkan arahan Zein dengan mengarahkan fokus kamera pada sekumpulan relawan yang sedang mengelilingi api unggun.

Cekrek.

Ifa menurunkan kamera dan tersenyum pada target bidikan yang menyadari aksinya.

"Mereka tidak akan merasa keberatan," ucap Zein yang kembali mencuri perhatian.

"Saya sudah mengatakan pada mereka bahwa saya seorang fotografer dan sudah meminta izin untuk mengambil gambar di sini," tambahnya.

Ifa mengangguk dan mengangkat kembali kamera untuk memeriksa hasil fotonya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang