Rian Jakadinata

86 8 0
                                    

Selamat membaca

Semburat jingga yang tenggelam menjamu sepasang manik tajam. Siur angin senja menyempurnakan damai yang tercipta.

“Malam, aku satu iman dengannya,” aku Rian dengan mata yang ia pejam menerawang jauh pada kisah di masa lalu.

Masa di mana ia bingung dengan perasaannya sendiri pada sosok anggun yang begitu dikasihi pamannya, Paman Anton.

Kala itu saat usianya masih belia dan harus menyaksikan pamannya lebih menyayangi orang lain, hatinya selalu bergemuruh terbakar emosi cemburu.

Gadis berpakaian serba tertutup itu sukses mencuri perhatian Rian. Sebab hampir setiap hari … mengawasi gerak-gerik Ifa adalah candu bagi Rian yang kala itu masih berusia 14 tahun.

Rian terpukau pada cara Ifa mengayunkan pedang mainan saat Paman Anton mengajarinya, Rian jatuh hati pada setiap penelitian gadis manis yang pada awalnya ia anggap saingan … dan Rian jatuh cinta pada cara Ifa memaafkan kesalahannya.

Rian Jakadinata tidak pernah benar-benar berniat menyakiti Ifa. Perintah ayahnya adalah hal mutlak namun melindungi Ifa adalah keindahan baginya.

Saat harus membawa Ifa kembali ke ayahnya, pemuda yang selalu patuh pada perintah ayahnya itu sengaja mengulur waktu dan hanya menggunakan obat bius untuk melumpuhkan Ifa. Kata-kata kejam yang ditujukan pada Ifa … selalu ia sesali setiap malamnya.

Ahh, seandainya Ifa tahu betapa gilanya ia saat tak berdaya menyaksika Ifa diambil alih oleh ayahnya kembali. Saat itu, niat Rian hendak menyembunyikan Ifa di kediamannya. Namun anak buah Tuan Jaka menjemput Ifa langsung ke pertempuran.

Rian gila. Berbagai cara ia lakukan untuk merebut Ifa, hingga ia menyaksikan sendiri ayah Ifa datang dan menyelamatkan Ifa lebih dulu.

“Rian, mari, kita shalat magrib berjama’ah,” ajak Pak Aang membuyarkan ingatan Rian.

Sosok yang baru saja mendapat gelar mualaf itu mengangguk dan mengikuti arah langkah Pak Aang yang membimbingnya kembali, berwudhu, shalat dan mengaji.

Rian memutuskan ikut Pak Aang. Ia menimba ilmu, memperdalam pemahamannya tentang islam, bertaubat dan bermuhasabah diri memperkuat keimanan di tengah-tengah ganasnya zaman.

Indah. Sangat indah. Islam benar-benar agama yang damai.

Kehidupannya yang kelam serasa sirna setiap ia bersujud memohon ampun kepada ilahi. Rian mensyukuri kehadiran Ifa di perjalanan hidupnya. Namun ia terlalu sungkan untuk menyebut nama Ifa di dalam doa. Rasa bersalah telah sangat dalam melukai hati.

Setelah dirasa cukup menimba ilmu bersama Pak Aang, Rian memutuskan untuk berjelajah. Mengikuti langkah gadis pujaan.

Dalam doa Rian, hanya ada dua hal yang selalu ia bisikan ke bumi dan terbang menembus langit, doa permohonan ampunan untuk masa kelam dan doa khusyuk semoga Allah mengabulkan setiap keinginan gadis ayu yang jauh dari jangkauan.

Hingga saat dirinya berada di Malaysia, ia mendapat pesan dari karib lamanya di masa jahiliyah, Zein Ibnu Syakir. Pembuka jalur perdagangan narkoba.

Dari Zein
08772233xxx

Aku membutuhkan bantuanmu.

Rian meminta lokasi keberadaan Zein dan langsung meluncur ke tempat yang dimaksud. Sebab tempat yang Zein maksud adalah markasnya dulu … bersama Zein.

Dan tak disangka, langkahnya memenuhi permohonan Zein mempertemukan ia dengan sang gadis idaman, Lathifa. Gadis anggun yang tak pernah ingin berdiam diri. Satu tahun rupanya telah cukup membuat sekelebat rindu bersorak riang saat menemu titik rindu.

Gadis manis itu masih sama. Tidak banyak bicara dan selalu menjadi yang paling mencolok.

Entah apa yang dimiliki Ifa, setiap orang yang ia temui selalu berhasil dibuatnya mengagumi.

Dia memang gadis ajaib.

Rian rela memberikan jatah mineral anti pelurunya untuk digunakan secara menyeluruh pada gaun merah maroon milik Ifa. Ia tak peduli pada diri sendiri jika itu menyangkut keselamatan gadis idaman.

Pemuda urakan itu juga tak peduli jika harus mendekap di balik jeruji besi bila itu bisa membuatnya melepas terbang sosok terkasih.

Dan saat dirinya menyaksikan sebuah senapan terarah pada sosok anggun di tengah pertempuran, tanpa diminta kakinya bergerak maju dan melindungi tubuh beransel coklat hitam itu.

Tidak. Rian tidak merasa nyeri saat tiga peluru merobek punggung. Yang menjadi fokusnya saat itu … Ifa harus selamat.

Dan untuk pertama dan terakhir kalinya, netra Rian bisa menangkap jelas manik bening yang selalu mendamai, wajah tenang yang selalu memukau dan raut cemas yang kentara dari sosok tercinta.

Rian tidak takut meninggal. Agama islam telah mengabarkan bahwa bagi seorang muslim yang taat, kematian adalah pintu menggapai Jannah-Nya.

Sejauh ini, Rian Jakadinata telah melakukan hal terbaik sebisanya. Masalah hasil … ia serahkan kepada Sang Maha Cinta.

Jika ditanya, apa Rian jatuh cinta pada Ifa?

Maka jawabannya adalah ya. Rian jatuh cinta pada seorang Rahmalia Lathifa.

Bagi Rian, Ifa adalah sinar hidayah. Begitu memukau, terang dan sangat indah. Ia bahkan tak sanggup menatap walau hanya sesaat. Baginya menghormati Ifa adalah bentuk terindah dari rasa cintanya pada Rahmalia Lathifa.

“Terimakasi, Ifa. Kamu sudah menjadi pintu hidayah untukku.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang