Bagian 22

128 14 0
                                    

Ruang berukuran sepuluh meter kali lima belas meter itu tampak tenang, yang terdengar hanya suara tegas dan lugas dari pembawa acara rapat saja,
"Entah mengapa, tapi setiap rencana yang kita buat seakan bisa diketahui musuh. Bahkan operasi terakhir yang dipimpin Brigadir Jenderal muda Dirga mengalami kegagalan serta kerugian yang cukup besar."
Kolenel Lukman ternyata merupakan asisten pribadi Dirga. Dia menjelaskan situasi akhir-akhir ini dengan sangat jelas dan detail.

Ya, rapat hari ini dilanjutkan kembali setelah Ifa berhasil dibuat Dirga menarik kembali maksud kepergiannya.
Dan apa ada yang ingin tau ancaman apa yang diberikan Dirga kepada Ifa yang berhasil membuat Ifa kembali duduk ditempat yang ingin sekali ia tinggalkan?
'Si legam.'
Ya. Dirga memanfaatkan keberadaan kuda hitam Ifa yang Dirga titipkan di kandang hewan markas ini untuk mengancam Ifa.
Ifa bahkan bertepuk tangan untuk kelicikan Brigadir Jenderal muda satu ini.

"Nona muda Ifa, apakah nona memiliki sesuatu yang ingin nona katakan tentang kejadian yang juga menimpa nona?"
Ifa tersenyum, lelaki tua sombong itu telah merubah nada suaranya yang awalnya terdengar meremehkan menjadi nada suara yang terdengar seperti sangat menghormati lawan bicaranya.
"Saya rasa tidak," Ifa berkata santai tak mempedulikan raut wajah lawan bicaranya yang terlihat kembali terpuruk.
Entahlah, mungkin dia kembali menyesali sikap awalnya pada Ifa.
"Aku tau kau berbohong, katakan atau aku akan berbuat nekad pada kudamu."
Ifa menghela nafas,
'Dia lagi, dia lagi.'
Kapan Brigadir Jenderal ini berhenti mengusik ketenangannya?

Dirga menatap gadis dihadapannya yang kini tengah menatap tajam kearahnya seakan mengatakan
'Kau menyebalkan.'
Dirga tersenyum penuh kemenangan,
"Ayo katakan, atau ak ... " ucapan Dirga terpotong oleh ringisannya sendiri. Dan pelaku terjadinya kejadian Dirga menghentikan ucapannya tersenyum puas.
'Itu jawaban dari kakiku untuk pertanyaanmu!'
Ifa terlihat tak menyesali tindakannya dan malah terlihat bangga karena telah berhasil menginjak keras kaki kiri sang Brigadir Jenderal muda yang akhir-akhir ini mengusik kedamaian hidupnya.

"Nona muda, tolong berikan tanggapan nona," Letnan Jenderal Gani kembali menyuarakan keinginannya menarik perhatian gadis penolongnya ini. Bukan hanya nada suaranya saja yang berubah menjadi lebih hormat, pemikirannya tentang Ifa juga berubah. Tentara yang datang dari markas utama itu telah memutuskan untuk membuat Ifa tinggal lebih lama di markas yang saat ini ia juga tinggali dan melibatkan Ifa pada setiap urusan markas ini. Saat ini Letnan Jenderal Gani sudah mempercayai penuh isi pesan yang diberikan Dirga padanya saat di Jakarta dan berniat ingin menyaksikannya langsung.

"Anda yakin, Letnan Jenderal Gani?"
"Tentu, silahkan ... katakan apapun yang menurut nona kami perlu tau."
"Baiklah."
Ifa memutar matanya dan berhenti saat netranya menangkap sosok Kolenel Lukman, teman seperjalanannya ke markas menyebalkan ini.
"Kolonel Lukman bilang setiap rencana yang dibuat tim ini selalu terlihat seakan musuh juga mengetahuinya?" Ifa bertanya pada tentara Lukman dan tentara Lukman menjawab dengan anggukan.
"Bagaimana jika kukatakan bahwa musuh yang kalian maksud selalu ikut serta dalam pembuatan rencana?"
Brakkk,
"Omong kosong! Anak kecil ini menuduh diantara kita ada yang berkhianat! Hey bocah, apa kau tidak tau akibat seperti apa yang bisa timbul akibat dari ucapanmu itu? Kami semua akan terpecah belah dan akan menjadi saling meragukan rekan kami sendiri dan jika hal itu terjadi bagaimana kerjasama bisa dilakukan?"
Tentara senior yang memiliki gelar Mayor Jenderal yang juga memimpin markas ini menggebrak meja dan menunjuk penuh amarah kearah Ifa.

Ifa tersenyum, responnya sesuai harapan.
"Tentara senior, saya ingin mengajak senior ke suatu tempat."
"Apa? Apa urusanmu kali ini?"
"Anda akan lebih suka jika kita membicarakannya secara empat mata."
.
.
.
"Turunkan senjata kalian dan menyerahlah! Kalian sudah kami kepung," suara tegas dan memerintah itu menggelegar di sebuah bangunan di tengah-tengah hutan yang terlihat kecil dan tak terurus tapi ternyata memiliki ruang bawah tanah yang bisa menampung ratusan bahkan ribuan jiwa dengan fasilitas militer yang melebihi fasilitas yang dimiliki anggota militer berlisensi.
"Dari mana kau memiliki rencana seperti ini?" pimpinan yang dikepung merasa perlu tau siapa lawannya yang sepertinya akan sangat cocok bila bersaing dengannya.

Ya, siapa yang memiliki rencana serupa dengan yang ingin dilakukan para pemberontak ini pada anggota militer yang mengganggu kegiatan mereka dalam melakukan penambangan ilegal di tanah subur ini?
Menyusup teknologi pengintai mereka, mengikuti rapat yang mereka lakukan dari hasil pengintaian mereka pada lawannya, lalu menjiplak rencana yang akan mereka lalukan dalam jangka waktu lima hari lagi, siapa?

Oh jikapun mereka diberi tau, apa mereka akan percaya?

Ya, tebakan kalian tepat sekali.
Semua pertanyaan yang para pemberontak itu pikirkan hanya terarah pada satu orang, Ifa.

Tiga hari yang lalu Ifa mengajak Mayor Jenderal yang menggebraknya di meja rapat untuk berjalan keluar. Ifa menyadari ada yang janggal dengan ruang rapat di markas menyebalkan itu. Oleh karena itu ia perlu tempat baru untuk mengutarakan semua pemikirannya tentang musuh para makhluk hijau yang melibatkannya pula.

"Katakan, apa yang ingin kau bicarakan dengan saya."
Hutan tampak riang siang ini, tapi tidak dengan dua insan yang saat ini tengah saling menatap tajam lawan bicaranya yang memiliki perbedaan usia sangat jauh. Mereka terlihat seperti kakek dan cucunya.
"Saya tau anda juga meyadarinya," Ifa memulai mengungkapkan isi pikirannya saat ini.
"Anda menyadari teknologi pemantau markas, komputer yang menjadi andalan untuk melakukan pengintaian wilayah dan seluruh alat komunikasi anggota tim di markas telah disadap seseorang," Ifa menghentikan perkataannya untuk melihat reaksi lawan bicaranya yang terlihat terkejut dan tak percaya.
"Kau ... ?" lawan bicara Ifa terbata tak tau harus berbicara apa.
"Ya, saya juga menyadarinya dan saya juga tau anda belum mengambil tindakan karena takut musuh anda kali ini mengetahuinya dan mengubah caranya menyerang. Bukankah akan lebih menjanjikan jika sebelum kita bertindak melawan kita bisa memahami dulu karakter lawan kita?"
Ifa tersenyum dan melihat mimik wajah lawan bicaranya nampak bersinar seperti menemukan harapan baru.
"Jadi, apa rencanamu?"
"Melakukan hal serupa pada mereka."
"Bagaimana caranya?"
"Tolong antar saya ke ruangan yang menjadi tempat pemantauan, dan tolong perintahkan semua anggota yang ada di markas untuk bertingkah seperti biasanya."
"Baik, mari ikut saya."

Lelaki tua yang saat di perjalanan memperkenalkan diri sebagai Mayor Jenderal Syarif itu membawa Ifa ke ruangan yang dipenuhi dengan komputer.
Ifa memeriksa ruangan dan menemukan ruangan ini bersih dari pengintaian musuh. Tidak ada cctv disini dan hal itu membuat pengintai tidak akan bisa melihat keadaan di ruangan ini. Ifa tersenyum, aksinya tidak akan diketahui musuh para makhluk hijau ini.
"Mayor Jenderal Syarif, layar pengintai menunjukan bahwa semuanya baik-baik saja," seorang lelaki dewasa yang memperkenalkan diri sebagai Kolonel Syahid melapor kepada Mayor Jenderal Syarif yang datang di luar jamnya berkunjung.
"Ya, memang selalu seperti itu bukan? Dan tenang saja kau bisa melaporkan hasil sebenarnya padaku sekarang. Dia bisa kau percaya," Mayor Jenderal Syarif lalu memperkenalkan Ifa secara singkat kepada Kolonel Syahid.
"Dia cucuku, dan hanya dia yang kupercaya di markas ini. Oleh sebab itu aku menempatkannya sebagai pemantau di ruang ini."
Ifa mengangguk lalu meminta penjelasan secara terperinci kepada tentara pemantau Syahid.

"Sekitar setengah jam lalu layar komputer kembali berkedip. Dan seperti biasa tidak ada apa-apa yang terjadi, semuanya terlihat normal," Kolonel Syahid tak terlihat meremehkan Ifa, ia mempercayai kakeknya tidak mungkin melibatkan orang sembarangan pada kondisi markas saat ini.
"Boleh saya melihat komputer pemantaunya?" Ifa bertanya sopan pada lawan bicaranya yang memang terlihat lebih tua darinya.
"Ya, tentu. Silahkan."

Ifa memperhatikan semua layar komputer lalu mulai menjalankan misinya.
Ia memeriksa sinyal komputer dan menemukan satu sinyal asing. Ifa lalu membuka sinyal itu dan menyusup dengan hati-hati. Kini ia lebih yakin bahwa sinyal ini berasal dari seseorang yang sengaja mengirimnya.

Setelah 30 menit Ifa berkecimpumg memahami mekanisme kerja komputer dan sinyal asing yang ia dapat, kini usahanya membuahkan hasil sesuai harapan.
Saat ini semua layar komputer menampilkan sebuah keadaan berbeda dengan markas yang seharusnya menjadi pengisi layar komputer.
"Ini ... " Mayor Jenderal Syarif kembali dibuat takjub oleh gadis yang sempat ia bentak di ruang rapat.
"Tolong perintahkan anggota tim markas untuk melakukan rapat dan merencanakan pengepungan dalam jangka waktu lima hari lagi," Ifa tak berniat menyambung perkataan Mayor Jenderal Syarif. Saat ini fokusnya berada pada tombol-tombol dihadapannya.
"Baik, aku sendiri yang akan memimpin rapat," Mayor Jenderal Syarif menjawab lalu berlalu dengan membawa semangat penuh. Operasi yang akan ia lakukan kali ini akan memberikan hasil yang sesuai dengan harapannya sejak lama.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang