Bagian 39

109 10 15
                                    

Diruang beraroma obat sesosok gadis berkerudung hitam mengerjap. Bersiap kembali menerima setiap pantulan gambar yang terekam mata.

Uhh ..
Gadis yang baru saja sadar itu melenguh, merasa ada yang aneh di kepala dan jantungnya.

"Ayah ...."
Dia lalu memanggil laki-laki paruh baya yang menatap lega kearahnya.

"Iya, ini ayah .."

Gadis itu kembali menutup mata, merasakan kecupan hangat menyentuh lembut keningnya.

Kemudian matanya kembali terbuka menggunakannya untuk menjelajahi ruangan. Berharap netra menangkap bayangan seseorang.

"Kak Rizki ...."
Kembali, suara lirih menyesap sakit ulu hati sang ayah.

"Ikhlaskan kak Rizki, Ifa .."
Dan hanya itu yang bisa pemimpin keluarga ucap, pimpinan yang telah lama kehilangan anggota.

Ifa menutup mata dengan tangannya yang entah sejak kapan sudah terlepas dari perban.

Ifa tersedu, sebab kak Rizki ternyata benar telah meninggalkan. Dan kejadian yang terulang di ingatan, bukanlah mimpi.

'Kak Rizki, kakak berjanji untuk selalu ada untuk ku. Sekarang kakak dimana?'

'Mengapa meninggalkanku?'

'Apa aku tak cukup layak menjadi adikmu?'

Tubuh Ifa bergetar, tanda ia mulai menangis hebat.

Sayup-sayup kebersamaan dengan kak Rizki terus berlayar di memori.

Kakaknya yang over protective,
Telah tiada.
Kakaknya yang suka melarang,
Telah tiada.
Kakaknya yang selalu memaksa,
Telah tiada.

'Allahu ...'

Ifa menyeka kasar air mata, berusaha bangkit dan duduk, namun sang ayah menahan.

"Aku harus mengunjunginya, ayah."
Suara Ifa berat, jelas nada tak rela terdengar.

"Ayah akan mengantarkanmu, tapi tidak sekarang. Apa kamu pikir kak Rizki akan suka melihat kondisimu saat ini?"
Lelaki yang menjadi satu-satunya milik Ifa sekarang, mengusap lembut air mata putrinya.

"Bersyukurlah ... kak Rizki masuk islam sebelum meninggal."

Seandainya. Seandainya ada yang paham. Bahwa laki-laki yang biasa terlihat gagah dan tegar juga bisa sangat rapuh.

Gelar pahlawan yang biasa disandangkan tak berlaku pada saat dia tak mampu melakukan penyelamatan.

Gelar hero tak berlaku di saat diapun tak tau harus berbuat apa dalam menghibur suasana hati putrinya yang tak damai.

"Ayah, aku ingin keluar berjalan-jalan, apa boleh?"
Ifa menatap nanar kaca transparan di ruangannya berada. Matanya merah dan raut kehilangan jelas tercetak apik di wajahnya yang pucat.

"Ya, tentu. Ayah akan mengantar."

Ayah Ifa mengambil kursi roda lalu menyiapkannya dan kembali menghampiri Ifa, mengangkat Ifa yang merupakan putrinya untuk duduk di kursi berjalan.

"Ayah, apa ranselku ada disini?"
Ifa menengadah mencoba mencari wajah yang sejak lama ia harapkan.

"Ada, kau ingin membawanya?"

Ayah Ifa sudah berjalan mengambil ransel walau belum mendapat jawaban dari yang menanyakan.

"Ini .."
Ifa menerima ransel dan mulai menyusuri lorong rumah sakit dengan bantuan kursi roda yang di dorong ayahnya.

**

"Apa disini?"
Pendorong kursi roda bertanya saat menemukan posisi taman yang dianggapnya nyaman.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang