Spesial Azdiyare

120 12 5
                                    

Malam yang pekat memeluk gigil dan menyesap gelap. Semilir angin melelap riuh, menghanyut jiwa dan menenggelamkan senja.

Aku menatapnya, sosok dengan seragam hitam berkerudung abu. Ranselnya ia simpan di sisi kanan sedang dirinya sibuk memperhatikan rembulan.

Merasa diperhatikan, ia menatapku dan aku menyambut maniknya dengan tersenyum. Di detik selanjutnya bibir mungil itu ikut melempar senyum dan kami saling tersenyum. (mode menertawakan).

Dia lalu berjalan menghampiriku dan duduk satu kursi denganku.
“Kenapa?” tanyanya.

“Tidak ada,” jawabku.

“Siapa namamu?” Dia menatapku.

“Azdiyare Ahsan.” Dia mengangguk. “Dan ini Yasmi, adikku,” lanjutku memperkenalkan adik, sahabat serta rivalku yang duduk di sisi kananku.

“Namaku Ifa,” sahutnya dengan tersenyum dan memperbaiki posisi duduknya yang tepat berada di sisi kiriku.

“Sudah tahu, Rahmaalia Lathifa, kan?” Yasmi mulai unjuk suara.

“Kenapa bisa tahu?” tanya Ifa.

“Karena Tetehku inilah yang menulis ceritamu.” Yasmi merangkul bahuku dengan bangga dan Ifa hanya menanggapi dengan anggukan.

“Apa ini juga sedang dalam cerita?” Aku dan Yasmi tertawa diikuti Ifa yang hanya tersenyum kecil.

Ohh, gadis ini memang anggun.

“Malam yang indah bukan?” Ifa menyandar pada penyanggah kursi taman, sedang netranya kembali terarah pada Bulan sabit di pucuk malam.

“Apa kamu tahu, apa arti Bulan sabit bagi agama Islam?” tanyaku mencoba memahami kejeniusannya.

“Dalam alquran surat Al Baqarah ayat 189 Allah swt berfirman, Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji,” terang Ifa.

“Itu juga kamu tahu karena Teh Ara yang ngasih tahu.” Yasmi mengeluarkan botol minum dari ranselku dan meminum isinya tanpa meminta izin pada pemiliknya.

“Apa kamu tidak tahu? Teh Ara mendapatkan semua materi itu dengan mempelajari tafsir alquran cordoba yang tebalnya ngalahin tumpukan dokumen skripsi di universitas?” Yasmi mengusap mulutnya yang basah karena air minum.

“Bukankah itu bagus? Setidaknya pengetahuan Teh Ara bertambah,” jawab Ifa santai.

“Iya juga, sih,” aku Yasmi kalah soal.

“Jadi, sedang apa kalian di sini?” Ifa memperbaiki ikat sepatunya yang mulai terasa kendur.

“Tidak ada, hanya ingin bertemu denganmu saja,” sahutku.

Ifa mengangguk samar dan mulai kembali menegakkan punggungnya.

“Aku pernah ingin berhenti melanjutkan menulis kisahmu.” Aku menengadah menatap nanar langit malam yang tampak bertabur bintang.

“Kenapa?” tanyanya.

“Aku merasa tulisanku tidak sebagus orang lain.”

“Kau bisa belajar.” Ifa ikut menengadah dan menghirup dalam-dalam aroma malam.

“Iya, dan aku merasa senang saat pemberitahuan facebook memberi tahuku bahwa Fifi Alifya memberi komentar. Dia selalu memberiku koreksi yang bisa kupahami dengan mudah.”

“Lalu masalahnya apa? Bukankah menulis itu menyenangkan?”

“Iya, menulis itu menyenangkan. Kau ingin tahu? Berkat kisahmu aku bisa mengenal Teh Siti Aminah. Dia dari Sumatra, tapi paham bahasa Sunda. Teh Siti Aminah juga sangat perhatian. Saat pertama kali aku mendapat kritik dari Reva Assegaf dan Fifi Alifya, dia yang menguatkanku agar tetap berpikir positif.”

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang