Bagian 44

189 10 0
                                    

Seperti air, langkah seorang Rahmalia Lathifa seolah tak pernah berniat berhenti mengalir.

Langkahnya berirama ikhlas, pegangannya adalah keyakinan pada Dia Sang Maha Pencipta dan nafasnya adalah tanda hidupnya lentera iman.

"Fa, hati-hati, jaga diri baik-baik," ucap kak Harris tak rela.

"Rumah om akan selalu terbuka untukmu," tambah om Hasan yang ikut mengantar.

"Jika kamu tidak sering menghubungi kakak, kakak anggap kamu sudah menjadi adik durhaka," ancam kak Dila.

Ifa hanya tersenyum dan mengangguk, lalu matanya beralih pada sosok pemuda lain di sisi kanan kak Harris.

"Apa tak ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Ifa pada Dirga yang sejak tadi hanya menunduk.

Dirga mendongak dan sedikit menunduk. Mensejajarkan netranya agar bisa menatap lekat gadis manis yang hari ini berseragam hitam dengan kerudung abu-abu.
"Apa kamu harus pergi?"

"Ya," jawab Ifa.

"Kenapa?" tanya Dirga.

Ifa menunduk. Diam. Lalu kembali mendongak.
"Jika aku diam, lukaku akan lebih terasa," jawab Ifa dalam.

Dirga menghela nafas,
"Kau memang selalu seperti itu, misterius."

"Aku pamit," ujar Ifa tak menghiraukan ucapan lawan bicara terakhirnya.

Ifa berbalik, berusaha kuat untuk kembali menyusuri hari dengan hanya berteman sendiri.

"Fa?" Panggil Dirga menghentikan langkah Ifa.

Ifa berbalik dan melihat Dirga yang sudah tegak gagah di hadapannya.

"Aku tidak akan menahanmu untuk terus berjalan, aku juga tidak akan memaksamu untuk menetap. Lakukanlah, obati lukamu. Dan tolong jangan menyiksa diri dengan kesendirian. Temui banyak teman dan hubungi aku bila kamu memang memerlukan seseorang," tutur Dirga tulus.

Ifa tersenyum lalu mengangguk,
"Terimakasih, akan kuingat."

"Lakukan. Bukan hanya diingat. Kamu mengerti?" Tekan Dirga.

"Iya, aku mengerti, terimakasih Dirga. Kamu sudah datang dan menghiburku," ucap Ifa ikhlas.

Dirga mematung. Membeku dalam dimensinya sendiri.

Alunan nada yang menciptakan ucapan terimakasih dan sebutan namanya dari seorang Ifa, menjadi satu-satunya irama di kepala.

Dirga sempurna tak mendengar ucapan pamit dari gadis manis yang nyata dihadapannya. Indra dengarnya seakan tak ingin menerima pantulan suara lain.

Laki-laki yang datang jauh-jauh dari Kalimantan itu hanya menatap nanar gadis mungil beransel coklat hitam yang tengah melambaikan tangan dari kejauhan ke arahnya dan tiga orang lainnya yang juga mengantar Ifa ke dermaga Batam.

Dan kemudian tubuh Ifa yang mungil menghilang dengan sempurna, dilahap jarak dan keramaian.

Tak ada yang tau langkahnya kali ini akan bertepi di mana. Bahkan Ifa sendiripun tidak tau.

Targetnya dalam mencari ilmu adalah Eropa, pusat pengetahuan kedokteran Ibnu Sina.

Dan targetnya berjelajah adalah Mekah Al-karomah, tanah suci yang selalu dirindukan semua umat beragama islam.

***

"Ayah, aku memenuhi inginmu," lirih Ifa menatap langit.

Sengaja Ifa mengambil jalur laut seperti saat kepindahannya bersama si legam dari Pulau Sumatera ke Pulau Kalimantan.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang