Bagian 28

126 13 0
                                    

Jingga tumpah di ujung cakrawala, sinar terang dari sang surya tak seterik 5 jam yang lalu.

Hari sudah sore, dan di jam 17.07 ini 15 tahun yang lalu seorang bayi perempuan di lahirkan ke bumi.

Ifa tersenyum merasakan perubahan detik yang mengubah usianya.

Tak ada pesta, tak ada kue strowbery, ataupun doa dan harapan dari seseorang.
Tidak ada apapun, hanya ada dia dan kesendirian.

"Kau ingin tau sesuatu, senja?"
Ifa memandang lekat cahaya orange yang di tampilkan langit.
"Usiaku bertambah, tapi sepertinya kau tak berniat mengucapkan selamat."
Ifa tersenyum, ia begitu menikmati nyamannya bersantai diatas rumput sintetis milik Alun-alun Bandung.

Sudah satu tahun tujuh bulan Ifa menjelajahi Pulau Jawa. Dan semua kota besar di Pulau Jawa sudah Ifa kunjungi.
Tapi karena Ifa tidak terlalu suka keramaian, Ifa lebih memilih mengunjungi desa-desa di pelosok.
Dan kali ini Ifa sedang berada di Bandung, kota besar terakhir yang ingin Ifa kunjungi sebelum pergi ke Pulau lain. Ifa berniat mengunjungi Gramedia Bandung untuk memperluas pengetahuannya.

Ifa ingin seperti Ibnu Batutah yang semasa hidupnya melakukan perjalanan hampir 120.000 mill dari mulai usia 20 tahun-an hingga usianya yang mencapai 50 tahun-an.
Mengalahkan Marco Polo penjelajah asal dari Eropa yang menempuh perjalanan sepanjang 8.050 km.

Dan Ifa juga mengagumi setiap karya sastra yang di tulis Ibnu Batutah.
Ibnu Batutah selain menjadi seorang penjelajah, ia juga menyukai sastra. Oleh sebab itu Ibnu Batutah sering menggambarkan setiap tempat yang ia kunjungi kedalam bentuk puisi.

Ifa menarik ransel coklat hitam di sisi kanannya dan mengeluarkan sebuah buku hitam kecil yang sudah hampir dua tahun ini biasa ia gunakan untuk menuangkan setiap huruf di kepalanya.

12 Rabiul Awal

Didepan Mesjid Agung Alun-alun Bandung, aku mempertanyakan
Sebaiknya, apa yang harus kulakukan?
Usiaku bertambah
Dan waktu hidupku berkurang
Lalu apa?
Haruskah aku mengabarkannya pada dunia?
Ahh tidak,
Biar kunikmati detik ini sendiri
Seperti biasa,
Tak ada orang lain
Hanya hening yang menyambut
Dan sepi yang menjamu.

Tertanda
Lathifa

Allahuakbar ... Allaahuakbar ...
Adzan magrib berkumandang jelas di telinga Ifa, menyentak Ifa yang larut dalam tulisan.

Ifa menutup buku catatannya dan mengambil botol minum di dalam ransel.
"Alhamdulillah, allahumma laka sumtu ..."
Ifa membaca doa berbuka puasa dengan menggenggam botol minum lalu meminum isinya hingga tersisa setengah.
Hari ini Ifa sedang melakukan shaum sunah favoritnya, shaum Daud.

Dengan shaum Daud Ifa bisa menghemat biaya perjalanannya. Dan melakukan lebih banyak perjalanan lagi.
Selama ini uang pemberian paman Anton sangat membantu Ifa dalam memenuhi hasrat berjelajahnya dan entah dari mana tabungan Ifa di bankpun selalu bertambah.
Tapi Ifa tak pernah menggunakan uang yang tak jelas asal-usulnya itu. Jikapun terdesak Ifa lebih suka mencari rupiah dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Seperti, menjadi pencuci piring dadakan di sebuah tempat makan atau menjadi buruh yang hanya di pakai bila ada bahan kerjaan.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang