Bagian 40

118 12 3
                                    

Ifa membalas tersenyum ramah,
"Polisi Tubagus Syaridin."

"Ahh, Street Doctor masih mengingatku."
Laki-laki berseragam khas polisi berjalan kearah Ifa dengan tersenyum hormat.

"Tentu. Dan tolong berhenti memanggilku seperti itu. Namaku Lathifa, dan polisi Tubagus Syaridin bisa memanggilku Ifa."

"Kalau begitu, kamupun berhenti memanggilku dengan panggilan formal. Panggil saja Bagus."
Dia lalu duduk di kursi yang sebelumnya di tempati ayah Ifa.

Ifa mengangguk tanda paham.

"Sedang apa Ba .. emm .. kak Bagus disini?"
Ifa merasa, lawan bicaranya lebih tua darinya, dan rasanya tidak sopan bila hanya memanggil nama saja.

Tapi yang ditanya hanya tertawa, menampilkan sederet gigi putih yang rapih.

"Maaf, aku merasa geli. Aku anak tunggal, dan rasanya menyenangkan mendengar seseorang memanggilku dengan panggilan kakak."

Kak Bagus tersenyum, menyandarkan tubuh pada sandaran kursi.

"Aku yang mengurus kasus kecelakaan kakakmu."

Ifa menunduk lalu menoleh ingin menanyakan bagaimana perkembangannya.

Dan kak Bagus seolah paham, bahwa Ifa merasa tertekan tapi tetap ingin tau kebenarannya.

"Itu bukan kecelakaan. Seseorang mencoba mencelakainya."

Ifa kembali menunduk, ia sudah punya nama untuk itu.

"Apa kau mencurigai seseorang?"
Kak Bagus mencoba mengorek informasi dari Ifa. Namun nihil, sang adik korban hanya terdiam dan tetap setia menunduk.

"Ifa, jika ada sesuatu yang kamu tau, kamu bisa mengatakannya padaku.
Mungkin hal yang kamu tau bisa membantu pihak kepolisian," ucap kak Bagus penuh harap dan saran.

Kak Bagus memerlukan keterangan yang lebih jauh agar bisa mengungkap kejahatan yang sudah sejak lama ia incar.

"Ifaaa ..."

Tiba-tiba suara tiga orang berbeda generasi dan berbeda gender memanggil penuh tuntutan pada gadis manis yang saat ini masih dalam proses pemulihan.

Ifa menoleh, dan benar saja.

Om Hasan yang berwajah cemas, kak Harris si muka datar yang juga terlihat khawatir, dan satu lagi, kak Dila yang terlihat ingin menerkam dengan wajahnya yang memerah dan menatap tajam.

Ifa menelan ludah, bersiap menerima amukan yang kuasa Dila Altamira.

"Kamu ini ya! Kenapa suka banget bikin kakak jatungan?! Waktu itu kamu tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa laki-laki menyebalkan yang datang bersamamu adalah kakak kandungmu. Dan sekarang kamu bilang bahwa si sontoloyo itu telah meninggal. Lalu kenapa sekarang kamu yang duduk di kursi roda? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Kak Dila memarahi Ifa tanpa kenal spasi, titik dan koma.

"Dan memangnya kenapa bisa si sontoloyo itu kecelakaan? Apa dia berjalan dengan so' bergaya sombong? Dan membuat para mobil di jalan juga memusuhinya?"

Kak Dila ... entah mengapa kenyataan kak Rizki yang telah tiada terasa konyol jika engkau yang mengabarkan.

"Fa, jawab. Kamu gak mendadak lupa caranya bicara kan?" kak Dila menatap Ifa penuh khawatir.

Namun sungguh. Ekspresi kak Dila begitu lucu dan menghibur.
Melunturkan ribuan belati yang menancap apik di hati Ifa.

"Ohh, tuhaan .. apa jangan-jangan kamu amnesia? Kamu inget kakak kan? Ini kak Dila kakak kamu .."
Kak Dila menggenggam erat tangan Ifa.

"La, pelan-pelan. Kamu gak lihat tubuh Ifa hampir setengahnya di perban? Dan dia pasti baik-baik saja. Jauhkan semua pikiran burukmu itu."
Kak Harris selalu begitu. Sangat ahli dalam menyelamatkan Ifa dari amukan sang ratu Dila Altamira.

"Ifa, jadi sebenarnya apa yang terjadi?"
Kali ini om Hasan yang berbicara.

Ifa menunduk dalam lalu kembali terisak.

Kak Dila yang melihat itu langsung berinisiatif memeluk gadis mungil yang telah sukses mencuri hatinya.

"Apa yang terjadi?"

Semua pasang mata berarah pada laki-laki paruh baya berjas abu-abu, kecuali Ifa. Dia sudah tau siapa yang bicara.

"Bapak ini siapa?"
Om Hasan mencoba mengulik identitas laki-laki seumurannya yang tiba-tiba memotong pembicaraan.

"Saya ayahnya," jawab Ahmad.

"What? Ifa, katakan. Setelah ini siapa yang akan datang? Apa cucumu?"
Kak Dila yang merasa kehidupan Ifa terlalu misteri akhirnya angkat suara. Dan kali ini pertanyaannya di sambut baik gelak tawa para pendengar.

Dan Ifa, gadis yang masih dalam derai air mata itu tersenyum, merasakan perasaan hangat menjalar di hatinya.

"Dia putri angkatku," ucap om Hasan menghentikan tawa.

"Dia putri kandungku," balas ayah Ifa tak kalah mencekam.

"Begitu, ya? Kenapa aku merasa ragu?" om Hasan tersenyum meremehkan.

"Sekalipun kau ragu, itu tak mengubah kenyataan bahwa Lathifa adalah putri kandungku," jawab sinis ayah Ifa.
Dan kedua laki-laki tua yang bertingkah seperti anak-anak itu saling bertatapan, silih bersahutan memberi bendera perang.

Ohh. Ifa tau sekarang.
Dari mana sifat keras kepala kak Harris dan dari mana karakter tak mau kalah kak Rizki.

Ifa mendengus, merasa ke depannya hidupnya yang damai akan benar-benar sirna.

"Maaf."

Semua mata menoleh, memberi tatapan berbeda pada si pemanggil yang berseragam polisi.

Terutama om Hasan dan ayah Ifa. Entah sejak kapan mereka menjadi kompak memberi tatapan mengintimidasi pada kak Bagus.

"Siapa kamu?" tanya om Hasan.

"Perkenalkan nama saya Tubagus Syaridin om, saya tadi tidak sengaja melihat Lathifa duduk sendirian di taman," jawab kak Bagus formal.

"Oohh ... ya sudah sana pergi. Urusan kamu sudah selesai kan?" kali ini ayah Ifa yang bertanya.

Glek. Kak Bagus menelan ludah. Merasa tatapan kedua orang tua di hadapannya seakan ingin melahapnya hidup-hidup.

"Iya, om. Saya permisi. Assalamualaikum," kak Bagus bergerak kikuk dan gugup.

"Wa'alaikumsalam," jawab om Hasan dan ayah Ifa yang tetap kompak memberi tatapan mengusir.

Kak Bagus mengangguk lalu berlalu membawa perasaan tertekan. Mungkin.

"Dan kalian, siapa yang mengizinkan kalian menemui putriku?"
Ayah Ifa menunjuk satu-satu keluarga om Hasan.

Ohh, ya. Sepertinya sifat over protective kak Rizki juga menurun dari laki-laki tua dihadapan Ifa ini.

"Om, Ifa ini adik saya," sergah kak Dila.

"Tapi saya ayahnya," jawab ayah Ifa.

Ohh, dan lihatlah sekarang. Macan betina dan raja harimau tengah berperang dalam diam.

"Om, mohon maaf, kami tidak sempat meminta izin om. Sebab kami benar-benar sudah merasa khawatir saat mendengar kabar bahwa Ifa mengalami kecelakaan."

Ifa tersenyum. Kak Harris memang cocok mendapat gelar jaksa dan hakim bagi perdebatan tak berujung.

"Jika kamu memang ayahnya, kenapa melarang kami bertemu dengan Lathifa? Apa kau merasa takut Ifa akan lebih memilih kami dari pada kau?"
Tapi om Hasan mengacaukan kedamaian kedua belah pihak perdebatan.

Ifa menengadah, tak menghiraukan kekacauan yang terjadi selanjutnya.

'Kak Rizki, kakak lihat? Sepertinya janjimu untuk tak pernah membiarkanku sendiri benar-benar terpenuhi.'

Ifa menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

'Aku akan baik-baik saja. Kakak tunggu aku disana dengan baik-baik.'

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang