Bagian 76

134 12 2
                                    

"Menikahlah, biarkan ayah tenang di alam sana."

Ifa masih menunduk. Suara berat itu terus mencecarnya. Mengutarakan hal yang sulit sekaligus memilu.

"Ayah tidak bisa terus di sisimu, Nak. Temukanlah seseorang yang bisa ayah percaya untuk menjagamu dengan baik."

Dokter yang menangani mengatakan, bahwa Tuan Bukhori telah kehilangan banyak darah. Dan jantungnya rusak total. Kecil kemungkinan untuk bisa bertahan.

Ifa menggeleng kuat.

Tidak! Ayah tidak akan ke mana-mana.

Meraba brankar rumah sakit dan menggenggam lengan besar yang melemah. Ifa mencoba memberi dorongan agar laki-laki tua itu mau berjuang untuk bertahan.

"Tidak, Ifa." Tuan Bukhari terbatuk hebat.

Ifa cemas. Ia bangkit dan meraba sekitar. Mencoba mencari keberadaan mineral.

Prang.

Gelas yang coba gadis buta raih malah terjungkal dan pecah di atas ubin rumah sakit.

Ayah ....

"Maaf, Nona, bisa Nona duduk saja? Biar saya yang memberikan Ayah Anda minum," kata perawat yang baru datang memasuki ruangan.

Ifa menelan saliva. Ia mematung sesaat. Menyadari bahwa dirinya benar benar-benar tidak berguna. Betapa kasihan seseorang yang akan menikahinya nanti.

Ia bahkan tidak bisa membantu memberi minum Ayah. Bagaimana dengan suaminya nanti? Adakah laki-laki yang akan bersedia menerima wanita buta dan bisu sepertinya?

Merapatkan tangan, Ifa mencoba mencari kekuatan dalam diri sendiri.

Mencintai?

Ia tersenyum kecil. Betapa kalimat itu terdengar indah dan manis. Bolehkah dia berharap bisa merasakannya? Seseorang yang halal akan selalu menjaga dan mencintainya?

Kembali, Ifa tersenyum. Namun, kali ini, ia seolah sedang menertawakan diri sendiri.

Sadar, Ifa! Memang siapa yang ingin memiliki istri yang cacat?

Menenggelamkan gigi di bibir bawah, Ifa benar-benar merasa tidak berguna. Ia hina dengan kecatatan yang menyandang.

Lalu, sebuah tangan menyentuh pundak.

"Ini Kakak," kata pemilik tangan yang bisa Ifa rasakan tengah berdiri di belakang. Suaranya terdengar serak. Jauh dari kesan suara rombeng yang menjadi ciri khasnya.

Kak Dila ....

Ifa tersenyum dan berbalik. Menyentuh wajah Kak Dila dan mengusap air matanya.

Kak Dila tak kuasa. Ia menarik Ifa dan memeluk gadis bisu itu begitu erat.

"Maafkan, kakak," lirihnya dengan terisak hebat.

"Maafkan ...."

"Tolong, maafkan kakak ...."

Ifa menggeleng. Diusapnya lembut punggung Kakak angkat.

Kak Dila tidak bersalah. Tidak ada ingatanku yang menggambarkan kesalahan Kakak.

Ifa ingin sekali berucap banyak. Ikut melirih dengan Kak Dila. Namun, ia bahkan tak memiliki air mata untuk sekadar menumpahkan duka.

Orang buta tidak bisa menangis, 'kan?

"Ifa ...." Om Hasan ikut melirih. Seolah sangat terluka dan tak berdaya.

"Bagaimana bisa ...." Tidak dilanjutkan. Om Hasan memilih menunduk dan berjalan keluar ruangan.

"Harris," sapa Om Hasan saat berpapasan dengan anak sulungnya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang