Bagian 53

126 13 1
                                    

Rumah megah di tanah Malaysia berdiri kokoh di tengah-tengah halaman luas yang hijau nan asri. Gaya Barat menjadi kiblat bagi arsitektur yang merangkainya.

"Rahma, apa kamu benar-benar tidak berniat mengikuti syukuran kelahiran putra dari Mr. Rais besok?"
Zein berjalan mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

Ifa tersenyum kecil. Menurutnya syukuran yang akan diadakan besok di kediaman megah Mr. Rais ini bukan sekedar syukuran biasa, melainkan pesta besar-besaran. Bahkan saat pertama kali sampai di Rumah Mr. Rais, kerabat dan teman kerja Mr. Rais sudah lebih dulu membuat pesta khusus orang-orang terdekat yang acaranya tak kalah mewah dengan acara pernikahn yang biasa Ifa kunjungi dengan Kak Rizki dulu.

Ifa menghela nafas, ia sangat merindukan sosok pemuda keras kepala dan suka mengatur itu.

"Ada apa?" Tanya Zein yang mendengar helaan nafas lawan bicaranya.

Ifa menggeleng,
"Tidak apa-apa, saya hanya tidak terlalu suka keramaian." Ifa mengambil satu apel dan kembali  memotongnya lagi untuk mempermudah caranya memakan.

Zein mengangguk lalu menarik kursi meja makan di hadapan Ifa dan meminum mineral yang ia bawa hingga tandas tak tersisa.

"Bagaimana jika kamu ikut saya? Saya dengar Malaysia memiliki banyak spot menarik untuk pengambilan gambar," tawar Zein pada gadis muda yang hari ini lengkap berseragam merah muda bermotif bunga dengan kerudung lebar berwarna putih bersih yang menyempurnakan kesan murni yang terpancar dari tutur katanya.

"Saya sudah punya rencana sendiri," tolak Ifa halus.

"Kemana?" Zein seolah tak merasa tersinggung. Ia justru ingin mengetahui kemana langkah kecil gadis ajaib di hadapannya ini akan pergi.

Ifa berjalan lalu mengambil ponsel putihnya di atas kulkas. Setelah beberapa saat ia berkecimpung dengan benda pipih itu, ia lalu mengarahkan layar ponsel pada Zein.
"Islamic Arts Museum Malaysia."

Zein mengambil ponsel Ifa dan memperhatikan layar yang menayangkan penampakan bangunan megah yang di dalamnya dipenuhi Islamic Arts.
"Saya rasa itu cocok untukmu."

Ifa mengangguk lalu berjalan keluar ruang makan dan memasuki kamar Akak Laila yang juga menampungnya selama dua hari ini.

***

"Lathifa, saye tak paham, kenapa kamu menolak pergi dengan Abang Zein? Padahal Abang Zein terlihat anak baik?"

Ifa tersenyum, dua hari sekamar dengan Akak Laila membuatnya cepat mengetahui karakter ingin tahu Akak Laila yang kadarnya sedikit berlebihan. Dan dari pertanyaannya tadi, Ifa menyimpulkan Akak Laila menguping pembicaraannya dengan Zein.

"Ayolah cakap ..., saye nak tau pun." Logat melayu Akak Laila terdengar jelas dan sedikit aneh di telinga Ifa yang mungkin dikarenakan  pendengarannya yang belum terbiasa.

"Akak Laila kan muslim? Pasti paham betul alasan saya menolak ajakan berpergian bersama dari laki-laki yang statusnya bukan muhrim," terang Ifa.

Akak Laila mengerucutkan bibirnya tanda menahan sebal.
"Tapi by the way, Akak tak tahu apa agamanya Abang Zein. Apa dia seorang muslim? Tapi sejauh ini Akak tak pernah tengok dia sembahyang macam kita."

Ifa diam, ia lalu merebakan diri di atas tempat tidur Akak Laila. Lalu netranya ia arahkan menatap langit-langit kamar yang terlihat menyegarkan dengan nuansa warna biru langit.

"Apa Lathifa pun tak tahu?" Tanya Akak Laila yang ikut terbaring di sisi kiri Ifa.

"Entahlah, kak. Saya juga tak tahu," jawab Ifa dengan memejamkan mata.

"Kau tak payah tidur! Ini belum magrib!" Ucap Akak Laila berlagak so' garang.

"Akak pun tak payah garang! Tak cocok!" Balas Ifa mengikuti drama Upin Ipin yang menjadi pembicaraan menyenangkannya bersama Akak Laila selama tinggal di Negeri Jiran ini.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang