Bagian 69

91 9 0
                                    

Dipacu, dua kaki dipaksa untuk terus menjejaki tanah gersang. Maniknya awas menyapu setiap inci tempat yang tetap sunyi dengan debu sebagai syair.

"Allaah ... aku hamba-Mu," lirihnya dengan lelehan air mata.

Ia berbalik dan tetap, di sana ada rekannya yang menahan lelap dengan darah yang mulai merembes memberi lembab pada tanah gersang. Ia menggeleng, memacu kembali kaki mencoba mencari bantuan.

Menengadah. "Jangan ...," lirihnya lagi.

Tiba-tiba senyum syukur menerpa wajah. Maniknya yang awas telah menemukan titik temu. Dua mobil bala bantuan telah datang sebagai jawaban doa.

"Mister, please, help my friend (Tuan, saya mohon, tolong teman saya)," pintanya saat beberapa orang berseragam tentara asing keluar dari mobil.

Dua laki-laki berhidung mancung itu mengangguk lalu meminta Ifa mengantarkan mereka pada korban yang dimaksud oleh gadis berseragam merah maroon itu.

"There (di sana)," paparnya dengan menunjuk pada Dirga yang mulutnya mulai mengeluarkan darah.

Dua aparat negara itu bergegas mengangkat bongkahan bangunan. Ifa pun tak tinggal diam. Ia bantu dengan sekuat tenaga. Tak ia pedulikan baret luka yang menggores apik di buku-buku tangan.

Saat sudah berhasil, Ifa bergerak memeriksa Dirga.

"Terima kasih, ya ilahi," lirihnya lagi saat ditemukan masih ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Selagi para penolong menghubungi tim medis, Ifa memberi penanganan pertama pada luka Dirga. Memberi madu sebagai pengganti stamina, membubuhi tanah laut mati untuk menghentikan pendarahan, mengoles ranti serta membalut luka dengan kain kasa yang ia bawa selalu.

"Miss," panggil petugas. Ia memberi tahu Ifa bahwa ambulan sudah datang dan selanjutnya, Dirga di bopong petugas menuju kendaraan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

Ifa memacu kaki mengikuti Dirga untuk menemani pemuda itu. Di dalam mobil, Dirga ditangani dan Ifa hanya diam dengan manik yang memandang nanar.

Dulu, ibu harus kecelakaan karenanya. Paman Anton pergi dengan menjadikan dirinya tameng penyelamat. Kak Rizki ... Ifa menutup mata. Laki-laki yang sangat suka memerintah itupun meninggal karena kecerobohonnya. Lalu ... Rian.

Ifa menggeleng. Mengapa semua kemalangan bermula dari adanya dirinya?

Pintu mobil ambulan terbuka, mobil berhenti dan ini adalah tujuan mereka, sebuah rumah sakit megah berdiri kukuh di hadapan.

Dirga dibopong dan dipindahkan ke tempat tidur beroda, lalu dibawa empat perawat memasuki ruang penanganan. Meninggalkan si Merah Maroon yang mematung di lorong rumah sakit dengan wajah kusam karena debu dan pakaian yang beraroma tanah gersang.

Ifa berjalan gontai, mendudukkan diri di kursi biru. Netranya yang nanar memandang lekat buku-buku jari yang terluka. Entah mengapa, asa yang indah seakan lenyap tak tersisa. Dirinya yang pandai mengambil hikmah, seolah telah kehilangan arah.

"Ayah ...," lirihnya dengan tergugu. Tangannya ia satukan dan ia bawa ke dalam dekapan.

Lalu lalang korban lain mulai berdatangan dengan diikuti keluarga. Jeritan tak terima menjadi nada menyiksa yang mendominasi bangunan. Beberapa ada yang meraung dan menyakiti diri sendiri saat seseorang yang mereka cari dinyatakan sudah tak bernyawa.

Kacau, hiruk pikuk menggila dalam balutan tragedi kembali. Gadis-gadis bercadar membiru dalam tangis yang memilu. Sedangkan anak-anak yang tak berdosa memperhatikan dengan mata yang menggenang bulir hangat.

"Allah ...." Ifa menyeka air mata. Jelas tangannya berdebu, tapi ia tak peduli. Terserah apa kata takdir, ia sudah lelah.

Istighfar!

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang