Bagian Sepuluh

165 17 3
                                    

Ifa berlari. Terus berlari. Menutup telinga dan memacu kaki.

Air mata yang tertahan mulai berdesakkan keluar. Bayang tubuh Anton yang ditembaki begitu melekat dalam ingatan.

"Pamaann...," lirih Ifa menyuarakan sakit dan pedihnya kehilangan.

Kaki kanannya tersandung. Ia terjatuh dan mulai menyadari bahwa hari mulai gelap.

Allah, di mana semua orang? Mengapa tak ada yang menolongku barang seorang pun?

Ifa tergugu. Menangis terisak dengan memeluk lutut.

Tidak. Tidak.

Ifa tak boleh berhenti. Paman bilang Ifa harus tetap berlari dan jangan pernah berhenti berjalan.

Gadis dengan ransel coklat hitam itu bangkit. Perlahan memutar mata: melihat sekitar.

Sepi. Tak ada siapa pun.

Ifa kembali berlari. Tujuannya saat ini adalah terminal bis.

Dari kejauhan Ifa melihat sekumpulan bis siap berangkat. Bahkan beberapa sudah ada yang mulai berjalan dengan kursi penumpang yang terlihat terisi semua.

Hujan.

Ifa menengadah. Matanya yang sembab melihat bulir bening mulai berjatuhan. Menyentuh lembut permukaan wajah.

Ifa mengerjap menyadari bahwa ia membawa barang yang tak boleh kena air.

Gadis dengan tas jinjing itu mulai berlari menuju bis terdekat dan memasuki salah satu yang sudah hendak melaju.

Di sana Ifa menemukan penumpang yang tak terlalu penuh hingga Ifa bisa melihat beberapa tempat duduk yang masih kosong tak berpenghuni.

Ifa memutuskan menghempaskan diri pada salah satu kursi di barisan kelima sisi kanan yang dekat dengan kaca bis.

"Ke mana, Dek?" tanya laki-laki lusuh berkaus biru tua.

Mungkin dia asisten supirnya. Ifa mengambil kesimpulan saat melihat laki-laki lusuh itu meminta bayaran penumpang.

"Bis ini jurusan kemana, Pak?" Ifa bertanya, tak memedulikan tatapan aneh yang diberikan lawan bicara.

"Ini jurusan ke Puncak."

Ifa manggut-manggut.
"Berapa biaya ke Puncak?" Ifa mengorek jaketnya: mencari uang recehan.

"Lima puluh ribu," jawab asisten supir dengan menjulurkan tangannya: meminta ongkos pada Ifa.

Ifa tersenyum saat menemukan uang lima puluh ribu di jaket. Lalu memberikannya pada laki-laki yang sejak tadi menunggui.

Setelah menerima uang dengan tatapan curiga, penagih uang tersebut berlalu menghampiri penumpang lain.

Ifa tampak lega saat bis mulai melaju.

Sedari tadi Ifa tak bisa diam. Ifa resah. Khawatir anak buah Arya ada yang ke sini dan menemukannya.

Ifa benar-benar tak ingin ditangkap Arya.

Pamannya pernah berkata bahwa Arya lebih kejam dari Tuan Jaka.

Meski usianya masih sangat belia, tapi Arya memiliki kemampuan dan otak yang benar-benar lebih unggul dari orang dewasa di geng preman Tuan Jaka.

Arya tak segan-segan bertindak kejam dalam mendisiplinkan anak buah. Dan Tuan Jaka menyukai orang-orang yang kejam seperti Arya.

Ifa ingat ia sudah 2 kali mendapatkan perlakuan kasar dari Arya. Dan Ifa bisa merasakan aura Arya memang menakutkan.

Walau tak bisa dipungkiri, Ifa memiliki keyakinan bahwa Arya sebenarnya adalah orang baik.

Gadis dengan kerudung lebar itu masih mengingat sangat jelas saat Arya memberinya roti walau dengan kaki.

Namun, itu merupakan nilai plus mengingat Arya tumbuh di bawah naungan kekejaman Tuan Jaka.

Ifa sebenarnya penasaran dengan identitas sebenarnya laki-laki beralis tebal itu, tapi Ifa tak pernah berani menanyakannya pada Anton. Pamannya juga tak terlihat ingin menceritakan pada Ifa. Dan Ifa adalah orang yang sangat menghargai privasi.

Toh, dulu Ifa berpikir bahwa hidupnya tak berhubungan dengan Arya. Jadi, Ifa tak perlu repot-repot mencari tahu identitas sebenarnya tangan kanan Tuan Jaka yang paling muda itu.

Ifa memejamkan mata, mencoba mengistirahatkan diri dari lelahnya hari ini.

Penagih ongkos bilang, diperlukan waktu 1 jam lebih untuk sampai ke puncak. Itu pun jika tidak ada kemacetan.

Tahu sendiri, 'kan, Jakarta seperti apa?

"Puncak! Puncak! Puncak!"

Sang kenek menyuarakan pemberhentian terakhir bis.

Ifa mengerjap.
Sudah sampai ya?

Ifa berdiri mengeratkan jaket lalu memasang kembali ransel pada bahu dan mengangkat tas yang Ifa simpan di bawah kursi bis.

Gadis dengan gamis merah maroon itu berjalan keluar bis dan mendapati hari masih gelap.

"Jam 9?"
Ifa bertanya pada dirinya sendiri saat melihat jam tangan yang melingkar di tangan menunjuk pada angka 9 kurang 20 menit.

Ahh, sebaiknya aku beristirahat dulu di tempat ini. Kurasa Arya tidak akan mencariku ke sini.

Saat Ifa berjalan, aroma jagung bakar merangsek masuk ke indra penciuman. Membuat perut Ifa menggeliat meminta diisi.

Ck. Kapan terakhir kali aku makan?

Ifa berjalan memasuki salah satu kedai jagung sederhana di tepi jalan dan memesan satu jagung bakar dan segelas teh manis hangat.

Saat Ifa sedang menikmati jagung bakar, indra penglihatan Ifa menangkap kehadiran Arya beserta 4 anak buahnya dari kejauhan.

Ohh, tidak!

Ifa berdiri lalu memberikan uang lima puluh ribu pada pedagang jagung lalu berlalu.

Pedagang jagung terlihat tak percaya saat menyaksikan Ifa mengeluarkan uang sebesar lima puluh ribu dari jaketnya. Terlihat si pedagang tak berniat untuk berteriak dan memberikan kembaliannya pada Ifa.

Ahh, tapi Ifa benar-benar tak peduli. Ia kembali berlari menuju terminal bis dan menaiki bis lain.

Arya? Dia ada di sini.

Ifa menggigil memeluk erat ransel. Mencoba mencari kekuatan dalam kesendirian.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang