Bagian sembilan belas

137 14 5
                                    

"Kau harus ikut kami ke markas Jakarta." Dirga meraih tangan kanan Ifa dengan memaksa.
"Aku tidak mau!" dan Ifa menghempaskannya dengan keras. Sebenarnya sudah sejak dulu Ifa menginginkan untuk kembali ke Jakarta dan menemui paman Anton, tapi entah mengapa perasaannya mengatakan bahwa ini belum saatnya.

"Menurutlah, atau ... "
"Atau apa? Kau akan mengancamku, memaksaku atau menyiksaku agar menuruti permintaanmu?
Lakukanlah aku tidak takut!" Ifa tersenyum meremehkan.

Diancam?
Bukankah hidupnya memang hanya tentang ancaman? Ia jadi buruan Arya dan hidup dihutan sendirian.
Apa itu bukan ancaman?
Dipaksa?
Ifa tak peduli. Hidupnya sudah banyak memaksa Ifa melakukan hal yang diluar batas wajar usianya.
Disiksa?
Oh ayolah, Ifa pernah menerima penyiksaan mengerikan selama 3 tahun diusianya yang saat itu belum bisa memahami apa-apa.

"Kau ... " Dirga tak melanjutkan upaya protesnya. Pendengarannya menangkap suara yang mencurigakan.

Tutut ... tutut ... tutut ...

"Ini sinyal bom ... komandan Dirga, bagaimana ini?"
Salah satu anggota tim Dirga yang memperkenalkan namanya sebagai Lukman menggenggam sebuah telepon genggam berukuran besar dengan tubuh gemetar.
"Berapa jangka waktunya?" Dirga bertanya sambil berjalan menghampiri Lukman.
"Enam puluh detik komandan." Wajah Dirga menggelap dan semakin mempercepat langkahnya.

Wusshhhh ..  sett ...
Belum sempat Dirga menyentuh benda yang jadi incaran tangannya, seseorang berpakaian serba merah maroon melompat kearah Lukman dan merebut ponsel besar itu dengan gerakan yang sungguh sangat cekatan dan sulit ditebak.

Ifa memeriksa ukuran sinyal bom yang dikirim dan menemukan cakupan ledakannya berukuran cukup luas.
'Ck, berurusan dengan makhluk-makhluk hijau ini sungguh merepotkan.'
Ifa meretas, menyusup dan memecahkan sinyal bom lalu menghapus dan mengatur ulang ponsel besar digenggamannya.
Ting,
Bunyi notifikasi ponsel memberitahu bahwa aksi Ifa berhasil dengan sempurna.

Semua makhluk berpakaian hijau itu melongo dan Dirga yang terlihat paling syok.
'Apa yang tidak bisa dilakukan gadis merah maroon ini?'
Dirga bergumam minder, ia merasa posisinya sebagai penjinak bom termuda di tentara angkatan darat terancam oleh gadis kecil dihadapannya yang terlihat santai saat menghadapi salah satu jenis bom digital yang bisa dikirim musuh dari jarak jauh.

'Lima belas detik?
Dia menjinakan bom berbentuk digital itu dalam jangka waktu 15 detik?' Dirga benar-benar belum bisa menerima kenyataan mengejutkan yang dia saksikan sendiri.
'Ini sunguh gila,' Sensei Dirga sendiri memerlukan 4 jam hanya untuk memahami jalan kerja bom. Dan diperlukan 2 jam lagi untuk bisa meretas, menyusup dan memecah sinyal bom.
Dan Dirga?
Tentara muda yang beberapa saat lalu masih bergelar sebagai penakluk bom termuda dikelompok tentaranya itu memerlukan 12 jam untuk bisa menaklukan bom tak kasat mata itu.
'Lalu dia ini apa?'
Gadis ini luar biasa.
Dirga bertepuk tangan dalam hatinya, merasa bangga bisa menyaksikan jenis kemampuan menakjubkan seperti ini.

Tapi sebenarnya, menurut Ifa semua orang bisa menaklukan bom. Syaratnya sederhana, hanya perlu keseriusan untuk memahami mekanisme kerja bom yang ingin ditaklukan dan tetap bertindak dengan tenang agar otak bisa diajak kerjasama dengan baik. Dan tentunya paham dasar-dasar bahan yang biasa digunakan untuk membuat bom.

Ibaratnya seperti kita hendak memasak sesuatu untuk orang banyak, tentu akan lebih mudah dikerjakan bila kita sudah paham bahan-bahan dan cara memasaknya.
Bukan begitu ibu-ibu? 😁

Merasa urusannya sudah selesai, Ifa menaiki punggung si legam dan hendak berlalu. Ifa tak ingin lagi berurusan dengan makhluk-makhluk hijau ini.
"Nona muda, tolong tetap bersama kami. Saya akan memanggil beberapa tim inti di markas Jakarta untuk datang kesini," Dirga benar-benar memerlukan kehadiran gadis berkerudung lebar ini. Dirga merasa tak tau harus berkata apa kepada atasannya nanti.
Ifa menoleh, sikapnya terlihat anggun dan agung memaksa semua orang untuk bersikap hormat dan menghargainya.
"Baik, jika begitu aku setuju. Tapi aku tidak ingin pergi tanpa kudaku," Ifa mengajukan syaratnya dan Dirga merespon dengan tersenyum riang.
"Tentu nona, tentu. Tolong ikut kami. Kami masih memiliki markas di daerah sini. Walau perjalanannya akan sedikit lama karena jaraknya cukup jauh jika ditempuh dari sini."
Dirga merasa lega gadis merah maroon ini bersedia ikut dengannya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang