Bagian 30

124 14 0
                                    

"Kau sudah bangun?"
Harris menyapa Ifa yang duduk sendirian di ruang makan.
"Ya, tentu."
Ifa menjawab singkat.
"Sedang sarapan?"
Harris ikut duduk dengan posisi menghadap kearah Ifa.
"Hanya jus?"
Harris mengernyit melihat jenis sarapan yang Ifa nikmati.

"Bi, apa bibi belum belanja? Kenapa tamu rumah ini hanya di suguhi jus untuk sarapan?"
Harris berteriak geram, merasa asisten rumah ayahnya benar-benar cari masalah.
"Aku yang memintanya."
Harris hendak memarahi kembali asisten rumah, namun perkataan Ifa menghentikan maksudnya.
"Kenapa?"
"Kau seorang mahasiswa kedokteran kan?"
"Ck. Sudah berapa kali kamu menanyakan hal itu?"

"Seorang mahasiswa kedokteran pasti tau, bahwa buah sangat mudah di cerna pencernaan dan itu sangat bagus bagi organ tubuh yang baru terbangun dari jam istirahatnya. Dan kaupun pasti tau bahwa dari jam 6 sampai jam 9 pagi adalah proses penyebaran nutrisi di dalam tubuh dan akan sangat membantu bila tubuh mendapatkan masukan vitamin dari buah-buahan."

Harris terdiam, dia mengetahui hal itu tapi tak pernah mempraktikannya. Harris tak begitu mempedulikan teori itu, walau memang benar. Tapi entah kenapa jika Ifa yang menjelaskan, setiap perkataannya seakan bisa menggambarkan kesehatannya di masa depan.

Harris akhirnya ikut memesan jus pada asisten rumah yang bertugas di dapur.

"Ngomong-ngomong, aku belum melihat adikmu."
Ifa melupakan perdebatannya dengan Harris, sebab Harris pun tak terlihat ingin melanjutkan.
"Maksudmu Dila?"
Harris menerima jus jambu yang di berikan asisten rumahnya.
"Memangnya kau memiliki adik selain Dila?"
Ifa mendadak ingin tau lebih banyak penghuni rumah megah ini, tapi Harris menjawab dengan gelengan.
"Dila sejak setelah kecelakaan memutuskan ingin tinggal dengan mamanya."
Ifa mengangguk merasa kelanjutan dari pembicaraan ini merupakan privasi Harris.

"Kamu mau kemana?"
Harris bertanya pada Ifa yang tiba-tiba berdiri.
"Dokter Hasan memanggilku."
"Apa kamu tau dimana ruang kerja ayahku?"
Ifa terdiam, dia baru menyadari saat ini Ifa sedang ada di rumah mewah bukan kota atau desa baru yang bebas ia jelajahi.
"Biar aku antar."
"Terimakasih."
Harris mengangguk lalu menuntun Ifa menuju kediaman sang ayah.
.
.
.

"Om berencana menyekolahkanmu, Ifa ..."
Ifa menunduk, perkataan dokter Hasan mengingatkan Ifa kembali pada sederet harapan yang ingin sekali ia rasakan.

Bersekolah, memiliki teman, mengikuti ujian, belajar, lulus lalu kuliah dan kerja.
Ifa ingin hidup normal dan menetap bersama dua orang yang bisa ia panggil ayah dan ibu.
Tapi harapan tinggalah harapan, Ifa tidak tau dimana ibunya dan bahkan Ifa tidak ingat seperti apa rupa ayahnya.

"Bagaimana Ifa? Apa kau bersedia? Akan sangat di sayangkan jika bakatmu tidak di tata dengan baik dan tidak memiliki pengakuan dari negara."
Dokter Hasan kembali melancarkan penawarannya.
"Kamu bisa ikut program sekolah paket A, paket B dan paket C. Jika dilihat dari kemampuanmu menangani korban kecelakaan, seharusnya saat ini kamu berada di semester akhir pendidikan keperawatan."

Ifa tersenyum lalu menatap dokter Hasan.
"Ya, aku bersedia mengikuti program sekolah yang dokter Hasan maksud."
"Bagus, om akan mengurusnya."
"Dokter Hasan tidak perlu repot, aku sendiri yang akan mengurusnya."
"Om percaya itu, dengan bakatmu kau bisa mendapatkan beasiswa dengan mudah. Apalagi jika orang-orang tau siapa jati dirimu. Tapi masalahnya om tidak melihat kamu memiliki identitas yang cukup untuk mengikuti program itu."

Ifa bungkam, apa yang dikatakan dokter Hasan sangatlah tepat. Ifa tidak memiliki kartu keluarga, juga tak ada akte kelahiran yang menjadi catatan kehadiran Ifa di negara ini. Dan pada intinya Ifa tak memiliki keluarga yang bersedia mencantumkan namanya di kartu keluarga dan tak ada keluarga yang bersedia memperjuangkan pembuatan aktenya.

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang