Bagian 70

85 10 2
                                    

Dalam ruang remang dengan cat hitam putih, sesosok gadis berseragam merah maroon terikat. Maniknya yang biasa anggun dan berbinar, layu dalam temaramnya penerangan. Sedangkan tubuhnya yang lemah ditopang ranjang biru tua.


Tidak ada tenanga. Tidak ada harapan. Ia terkulai dengan beberapa kain yang dipaksa terlepas. Namun, kerudungnya lebar masih setia menjaga mahkota dengan beberapa anak rambut yang mencuat keluar. Sudut bibir robek. Luka membiru memenuhi kening dan pipi.


Sembab, kelopak mata bengkak ditemani garis hitam yang memenuhi lingkaran mata. Ia mati dalam kehidupan yang durjana. Napasnya kalah telak dan auranya hilang dilahap ketidak adilan keadaan.

Luka merah akibat pegangan yang terlalu erat jelas menghiasi kedua pergelangan tangan. Ia merintih dengan doa yang amat sangat memohon. Rautnya mengabarkan bahwa ia benar-benar menderita.

"Allaahhh ...," lirihnya yang berhasil mengoyak hati pendengar.

"Allaahhh ...."

"Allaahhh ...."

Hanya itu. Samar, redup, dan pilu. Pemilik suara benar-benar berada di ambang derita. Kehidupan telah berkhianat padanya, tapi tidak dengan keimanannya.

Ia tetap kukuh Memaha Besarkan asma-Nya. Biar pun diri telah terkoyak dan dilahap durjana.

Jiwanya yang gontai terkapar tak terima di atas perahu nista, tapi ia si pemilik jiwa ... masih tetap ingin mempertahankan identitas sebagai seorang hamba.

Hebatnya ujian tak membuat ia berlarut dalam kejahilan prasangka. Tetap, hati ia patri berserah pada setiap qodar-Nya. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-Nya. Begitu tekadnya.

Ohh, dunia ....

Gerangan apa yang membuatmu memalingkan muka dari gadis semulia dia?

Pantaskah ia menerima semua derita?

Tolonglah dia, bantulah dia, atau ... setidaknya, rangkullah ia. Kuatkan, agar ia tidak merasa sendiri.

Perlahan, maniknya kembali terbuka. Menampilkan sederet kisah tragis yang baru saja menimpanya. Jelas bekas bulir bening mengering di permukaan pipi. Sedang kakinya seolah kehilangan fungsi.

Dengan mata yang setengah terbuka, bibirnya bergetar berusaha mengucap sesuatu. Dan dalam usahanya itu, air mata kembali berderai mencabik-cabik pilu.

"Tolong ...," isaknya dengan untaian luka.

"Tolong aku ...."

__

Dirga bangkit. Deru napasnya memburu. Keringat dingin jelas membanjiri pelipis dan punggung. Ia mengerjap dan menilik tempatnya berada.

"Ternyata hanya mimpi," ucapnya penuh syukur dalam hati.

Dirga masih memutar mata.

"Rumah sakit?" tanyanya pada diri sendiri.

"Sudah bangun?" Mas Fendra datang dari toilet ruangan.

"Di mana saya?" Dirga menggerakkan kaki. Namun, yang selanjutnya terjadi, ia meringis dan Mas Fendra berlari menghampiri.

"Anda jangan dulu banyak bergerak, Brigjen. Kaki anda masih harus dibatasi pergerakannya," papar Mas Fendra.

"Apa yang terjadi?" Dirga masih menahan perih yang menjalar hebat di kedua kaki.

"Anda menjadi korban terorisme di kota Lahore."

Dirga mematung. Seketika lukanya terasa sirna dan ingatannya menjurus pada manik hitam yang berderai air mata.

"Di mana Ifa?" tanyanya memerintah pada Mas Fendra.

"Ifa?"

"Iya, dia-dia ada di sini kan? Di mana dia? Kenapa kau tidak membiarkan dia masuk?" Dirga menatap harap pintu utama. Berharap sosok yang ia temui di mimpi bisa ia temukan di sini dengan baik-baik saja.

"Brigjen, anda hanya sendirian."

Dirga menatap nyalang lawan bicara. "Jangan bercanda!"

Mas Fendra mengerutkan dahi tak mengerti arah bicara atasan paling mudanya di kemiliteran.

"Di mana Ifa?!" raung Dirga frustasi. Baru saja ia bernapas lega karena apa yang ia lihat sebelumnya hanyalah mimpi, tapi kini ....

"Brigjen Dirga, apa yang anda lakukan?" pekik Mas Fendra saat melihat Dirga berusaha turun dari brankar rumah sakit dan berakhir dengan meringis dan terjatuh.

"Saya harus menemukan dia, apa kau tidak mengerti?!" Manik Dirga merah. Entah karena robekan luka di dada yang terlepas kembali, perih yang menjalar di kaki atau ... gadis itu.

"Anda tidak seharusnya seperti ini." Mas Fendra membantu Dirga bangkit dan mendudukkannya kembali di tempat semula.

"Dia gadis saya, gadis merah maroon saya! Kau dengar?!" gertaknya tak terima.

"Saya mengerti, tapi anda juga harus memperhatikan keadaan anda sekarang. Anda tidak akan bisa melakukan apa-apa dengan kondisi seperti ini," terang Mas Fendra yang mengundang gundah pada relung hati atasannya.

"Ifa ...," lirih Dirga dalam hati. Punggungnya ia sandarkan pada penyanggah brankar. Pilu di dada, perih di kaki, dan remang di mata: tidak ia hiraukan.

Ingatannya mengambang pada saat-saat pertama berjumpa dengan si merah maroon. Dirinya yang baru diangkat menjadi Brigjen paling muda dan dirinya si gadis ajaib pertama dan terakhir yang ingin ia kenal.

Saat itu, Dirga hampir lupa pada tugasnya. Si mungil dengan kerudung lebar yang tengah melamun di bawah pohon bersama kuda hitam legam, mencuri fokusnya. Gadis itu benar-benar sempurna memenuhi relung mata.

Dirga terlonjak, saat derap kaki mengarah ke arah gadis itu. Ia lalu berteriak, mengabarkan ancaman yang berjalan mendekat. Namun, gadis itu masih sama. Anggun dan tak terganggu. Dengan gerakkan tertata ia menghampiri kudanya dan pada saat itu ... Dirga nekat mencuri start dan merampas si pemilik fokus ke dalam semak-semak.

Masih jelas di ingatan, si target meronta dan ia memperkuat rengkuhan, persis seperti di tragedi kemarin.

"Hah." Dirga menghela napas. Gadis itu pasti baik-baik saja. Yakinnya dalam hati.

Ifa tidak akan pernah ia beri tahu, bagaimana bahagianya ia saat bisa bertukar nama dengan gadis itu dan segila apa dirinya saat kehilangan Ifa di tahun lalu. Di saat dirinya tak lagi bisa menjangkau sosok ayu yang sudah menjadi candu bagi sang rindu. Ifa tidak akan tahu, usaha seperti apa yang ia tempuh untuk merebut ponsel Uni Ella yang berisi nomor ponsel gadis itu.

Gadis merah maroonnya telah sempurna mengambil alih kendali hati, keinginan mimpi, dan citanya dalam mengudara dalam kemiliteran.

Namun ....

Lagi-lagi Dirga menghela napas.

Pemuda dengan alis tebal itu tidak akan pernah bisa melepas tugasnya di kemiliteran. Sumpah pada ayah dan kakeknya yang telah berpulang masih terpatri di ingatan. Ia harus menuntaskan tugas dan hidup menjadi seorang pejuang negara.

Dan gadisnya, adalah pemilik sayap yang tak pernah berniat untuk menepi dan berhenti.

Dirga memutar mata, ia melihat Mas Fendra memencet tombol panggilan tim medis saat netranya menangkap bercak darah yang muncul di seragam pasien Dirga.

Namun, Dirga tak peduli. Ia melanjutkan memutar pandangan dan meraih ransel tentara yang tersimpan apik di sisi.

Sebuah cincin dengan intan permata ia temukan dalam balutan penyanggah anggun berwarna merah maroon yang telsh lama setia bertahta dalam ransel tentara.

Sejujurnya, sudah sejak tiga tahun yang lalu ia berniat ingin melamar gadis itu. Namun, selalu urung bila ia mengingat profesinya dan cita-cita gadis pujaan.

Yang Dirga tahu, Rahmalia Lathifa adalah awan putih yang anggun, bersih nan suci. Yang sulit ia gapai sebab terjaga dengan langit biru yang ingin dijelajahi sang awan.

Sedangkan ia ... aparat negara yang harus selalu siap sedia bila tugas negara memanggil.

Dua kubu berlawanan memang selalu sulit untuk disatukan.

__

The True Traveller (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang