PAGE 66

111 14 5
                                    

Tengah malam begini seharusnya dia sudah tidur. Esok pagi adalah hari yang dipenuhi agenda, jadi istirahat lebih awal adalah pilihan yang tepat. Tetapi, mana bisa dirinya tidur nyenyak ketika banyak hal terjadi di sekitarnya.

Kini pemuda itu menenggelamkan kepalanya di antara kedua lengan. Bagaikan mengurung otaknya supaya terbebas dari dunia luar. Meskipun pihak penginapan sudah menyalakan generator listrik, Vernon memilih untuk tidak menyalakan lampu di dalam kamarnya.

Semuanya dibiarkan gelap dan juga sunyi. Apapun terasa seperti kekosongan.

Satu surat di dalam amplop yang telah terbuka dan satu kotak kayu kecil menemani malamnya yang dingin. Sedari tadi, samar keluar suara isak tangis sebentar. Siapa lagi kalau bukan berasal dari Vernon sendiri.

Pria itu berusaha mati-matian untuk membungkam mulutnya yang cengeng. Malu jika sampai suara tangisnya terdengar dari luar pintu. Apalagi beberapa pelayan riwa-riwi di seluruh lorong.

Ritualnya sudah selesai. Untungnya berjalan lancar dan para petinggi tidak minta yang aneh-aneh. Sayangnya semua yang dia dengar hanyalah sebatas cerita. Dia bukannya tidak boleh hadir, tetapi jika Vernon datang, akan ada omongan yang tidak enak dari para petinggi.

Kodai berada disana. Menyaksikan kematian seseorang dari bangku tribun istimewa sementara Vernon menunggu di kamarnya. Sampai sensei-nya, pemimpin ritual Jeon Wonwoo pada saat itu, datang mengetuk pintu dan menyerahkan surat wasiat serta abu kremasi kepada Vernon.

'Kematiannya kubuat cepat, jadi jangan khawatir', begitu kata sensei-nya.

Sebelum menutup pintu, sensei juga berkata, 'Kata Wonwoo surat itu jangan sampai dilihat orang lain, dia malu karena tulisannya bikin jijik'

Entah kenapa pemuda itu tidak bisa tertawa terpingkal-pingkal seperti seharusnya. Jadi dia hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan menutup pintu. Dia ingin sendiri, bahkan setelah membaca suratnya pun dia masih ingin tetap sendirian. Begitu sulit menghadapi orang-orang di saat seperti ini. beberapa orang memang mengetuk pintu, tetapi Vernon sengaja tidak menjawab. Biar yang lain mengira dia sedang pergi ke suatu tempat.

Tetapi, ketukan kali ini tidak dibiarkan. Begitu mendengar suara Kodai yang pelan, Vernon langsung bangkit dari tempat duduk dan beranjak ke arah pintu kayu.

Ketika dibuka, Vernon bisa melihat sosok Kodai yang masih memakai kimono yang sama dengan saat pertemuan tadi siang. Mungkin dia tidak sempat berganti ke pakaian hitam untuk menunjukkan bela sungkawa.

"Maaf, aku ikut membantu pembersihan tempatnya, jadi makan waktu lama"

Kodai langsung duduk di sofa ruang tamu yang memang disediakan di kamar itu. Saat Kodai menanggalkan katananya, Vernon baru menyalakan lampu.

Mata Vernon menyipit menyesuaikan dengan cahaya yang merebak, "Bagaimana dengan si Ryusei? Kalau bajingan itu banyak protes, aku bersumpah akan menjegalnya di tempat latihan nanti"

"Untungnya tidak", Kodai meminum air putih yang disuguhkan oleh Vernon, "Ryusei cuma diam saja, mengamati dan pergi sebelum jasad Wonwoo dijadikan abu"

"Mau kemana dia? Kok terkesan buru-buru, seperti bukan Ryusei saja"

"Sepertinya dia ada urusan yang menyangkut perjanjian dengan geng Atalanta", Kodai memajukan badannya dan memelankan suara. Takut obrolan ini akan terdengar orang lain, padahal dinding sudah dirancang kedap suara meskipun model hotel Nagamachi masih mirip seperti di tahun 60-an.

"Aku juga mau bicara soal perundingan yang terjadi sebelum ritual seppuku", kata Kodai, "Aku bertemu dengannya, pemimpin kelompok teroris itu. dia memperkenalkan diri sebagai JYP, tapi aku sempat mendengar Ryusei memanggilnya Park Jinyoung, mungkin itu nama aslinya. Apa dia orang Korea?"

JEWEL IN THE MIST [Day6 x Got7] | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang